Kontribusi teoretis

Apa kontribusi teoretis penelitian ini? Pertanyaan ini adalah salah satu favorit, tetapi sekaligus yang paling ‘mematikan’, bagi saya ketika melakukan penelitian. Setiap penelitian atau artikel publikasi yang ditulis seharusnya menyiapkan jawaban atas pertanyaan ini. Secara lugas, Mintzberg (2005:361) menyatakan, “If there is no generalizing beyond the data, no theory. No theory, no insight. And if no insight, why do research?”. Nah lho, benar-benar ‘mematikan’ kan? Tentu saja, perlu dicatat di depan, tidak semua disiplin mempunyai tradisi seperti ini. Selain itu, perlu juga dicermati konsep generalisasi dalam beragam tradisi penelitian, seperti antara positivis dan interpretif, yang mempunyai pendekatan berbeda.

Merumuskan kontribusi teoretis bukan perkara mudah. Tidak ada satu pun definisi yang disepakati bersama (Corley & Gioia, 2011). Beragam konseptualisasi kontribusi teoretis bisa kita temukan dalam literatur. Namun sebelum mendiskusikan lebih lanjut, ada baiknya kita rujuk kembali apa itu teori? Ada banyak definisi, salah satunya yang sederhana adalah “theory is a statement of concepts and their interrelationships that shows how and/or why a phenomenon occurs” (Corley & Gioia, 2011:12). Menurut Whetten (1989), teori mempunyai empat komponen yang saling terkait. Secara ringkas, teori harus menjawab tiga pertanyaan pokok: apa (what), bagaimana (how), mengapa (why), dan pertanyaan pendukung: siapa (who), kapan (when), dan di mana (where). Tidak semua teori mempunyai proposisi (Whetten, 1989).

Maaf, sebelum melanjutkan, teori jangan dimaknai secara peyoratif seperti yang dipahami banyak orang awam: teori dianggap tidak bermanfaatn dan hanya omong kosong. Teori dapat dikelompokkan ke dalam beragam kelompok dengan pendekatan yang berbeda. Berdasar ‘fungsinya’ teori dapat dikelompok ke dalam teori untuk (a) menganalisis, (b) menjelaskan, (c) memprediksi, (d) menjelaskan dan memprediksi, dan (e) desain dan aksi (Gregor, 2006). Ulasan singkat kategorisasi ini dapat dilirik di sini. Teori juga dapat dikelompokkan berdasar cakupan fenomena yang dapat dijelaskan. Kita bisa temukan macrolevel theories seperti new institutional theory, resource dependence theory, contingency theory, agency theory, dan transaction cost theory; meso theories seperti social capital, organizational identity, dan organizational learning; dan microlevel theories seperti equity theory, procedural justice theory, dan prospect theory (Corley & Gioia, 2011).

Kembali ke kontribusi teoretis. Jangan disalahpahami bahwa kontribusi teoretis tidak berhubungan dengan kemanfaatan teori dalam praktik. Dalam konteks, Corley dan Gioia (2011) menawarkan framework untuk memahami kontribusi teoretis. Ada dua dimensi yang dapat dilihat: orisinalitas (originality) dan kemanfaatan (utility). Orisinalitas bisa bersifat revelatory (alias menghadirkan pengetahuan yang sebelumnya menjadi misteri) atau incremental (bertahap; tambahan tilikan baru). Kemanfaatan bisa bersifat ilmiah (scientific) dan praktis (practical).

Jika kita dapat menghadirkan teori baru, akan sangat jelas kontribusi kita. Namun, menghasilkan teori baru bukan hal mudah. Lagi pula, tidak semua penelitian yang kita lakukan ditujukan untuk mendapatkan hadiah Nobel. 🙂 Dalam bahasanya Corley dan Gioia (2011), kontribusi seperti terkait dengan tingkat orisinalisitas yang revelatory. Namun, orisinalistas dapat maujud dalam tingkatan yang lebih rendah yang bersifat bertahap.

Terdapat beragam konseptualisasi kontribusi teoritis di literatur. Ridder et al. (2009) menyebut perbaikan konstruk dan hubungan antarkonstruk, pengembangan dan konfirmasi proposisi, dan penggabungan konstruk baru dalam hubungan antarkontsruk yang sudah ada. Termasuk dalam perbaikan konstruk, menurut saya, adalah konseptualisasi konstruk yang lebih baik. Lebih baik di sini, bisa berarti lebih detil dan lebih jelas alias menghilangkan ambiguitas. Hal ini terkait dengan kemanfaatan teoretis yang memungkinkan konsep atau konstruk dioperasionalisasikan dan diuji dalam penelitian. Kemanfaatan praktis, di sisi lain, menghadirkan teori yang langsung dapat diaplikasikan dalam praktik. Konstribusi seperti ini seperti menghadirkan resep untuk sebuah tindakan.

Singkatkan, kontribusi teoretis harus membantu kita memahami fenomena yang diteliti dan/atau dapat membantu kita dalam memperbaiki praktik. Ada yang tidak setuju? J

Referensi

Mintzberg, H. 2005. Developing theory about the development of theory, dalam K. G. Smith & M. A. Hitt (ed.), Great Minds in Management: The Process of Theory Development. Oxford: Oxford University Press, pp. 355-372.

Corley, K. G., & Gioia, D. A. (2011). Building theory about theory building: what constitutes a theoretical contribution?. Academy of Management Review, 36(1), 12-32.

Ridder, H-G., Hoon, C., & McCandless, A. (2009). The theoretical contribution of case study research to the field of strategy and management, dalam D. D. Bergh & D. J. Ketchen (ed.) Research Methodology in Strategy and Management, Vol. 5, Emerald Group Publishing Limited, pp. 137-175.

Whetten, D. A. (1989). What constitutes a theoretical contribution?. Academy of Management Review, 14(4), 490-495.

Gregor, S. (2006). The nature of theory in information systems. MIS Quarterly, 30(3), 611-642.

Yogyakarta, 30 Maret 2013

10 comments
  1. terima kasih pak atas tulisannya sangat bermanfaat buat saya yang sedang belajar menulis, tapi masih ada kekurangan dalam tulisan ini seharusnya di tambah dengan peta domain atau langkah-langkah penelitian sehingga orang yang membaca dan belum tahu langkahnya bisa mempermudah dan membantu dalam penelitiannya. terima kasih

    apakah ada cara lain selain menggunakan 5W 1H ntk hasil sebuah penelitian, yang mungkin lebih signifikan atau lebih mengerucut dan mempersempit cara mengidentifikasi masalah?

    • Fathul Wahid said:

      Betul Mas, blog ini memang tidak membahas metode penelitian secara khusus. Asumsinya yang membaca sudah mempunyai pengetahuan dasar metode penelitian. Tetapi usulan njenengan menarik. Saya akan coba pikirkan, karena menulis metode penelitian yang cukup detil memerlukan energi yang lebih. Doakan saja energi itu ada Mas.

  2. nurchim said:

    Atikelnya sangat menarik Pak, mungkin yang saya tanyakan bagaimana langkah/strategi untuk membuat konseptualisasi konstruk yang lebih baik agar lebih detail dan jelas ?

    Terimakasih

    • Fathul Wahid said:

      Terima kasih Mas. Cara memperjelas konstruk adalah: definisikan dengan hati-hati konstruk tersebut (termasuk definisi operasional jika dikaitkan dengan kontsruk lain, level analisis aplikasi kontruk, item untuk mengukurkan serta alasan mengapa item tersebut perlu, dan seterusnya). Untuk itu, perhatikan juga beragam konstruk yang sudah ada. Apakah sama, berbeda, berisan, atau? Jika sama, mengapa perlu konstruk baru, jika berbeda di bagian mana, dst. Tidak ada cara lain untuk memperjelasnya kecuali dengan banyak merujuk/membaca literatur dan/atau mengembangkan argumen yang kuat. Jika ada konstruk beserta item untuk mengukur yang sudah dikembangkan dan divalidasi oleh penelitian sebelumnya, argumen yang diperlukan menjadi ‘ringan’. Wong sudah dibuktikan, tinggal diberi argumen mengapa konstruk beserta definisi dan item pengukurnya relevan untuk konteks penelitian yang baru. Lagi-lagi argumen dibutukan di sini.

      Mudah-mudahan memperjelas Mas, dan tidak masalah memperumit.

  3. Fitayani Intan P. said:

    Ass. artikelnya sangat bermanfaat pak…yang saya ingin tanyakan adalah kontribusi teoritis sebenarnya fungsinya untuk apa?dan apakah kontribusi teoritis wajib ada di dalam sebuah penelitian?

    Terima kasih…..

    • Fathul Wahid said:

      Wa’alaikumussalam Mbak Fita,

      Kontribusi teoretis gunakan untuk memperkaya teori yang sudah ada. Teori digunakan untuk banyak alasan dalam penelitian.Teori yang kita kenal saat ini bukan muncul dari mimpi, tetapi didasarkan pada penelitian empiris yang ditarik ke perspektif yang lebih tinggi yang memungkinkannya diaplikasikan lintas konteks.

      Ada penelitian yang kuat kontribusi teoretisnya, ada yang lebih kuat ke praktisnya, ada yang seimbang dua-duanya. Kalau untuk level S2 harusnya ada dua-duanya meskipun yang menonjol salah satunya.

  4. abidyanuar said:

    Bismillah, Pak Fathul, terimakasih atas tulisannya, bagi saya menjadi penyemangat lagi untuk berbenah dan berproses menjadi lebih baik. untuk penelitian yang telah kita lakukan, dan ingin kita split menjadi 2 artikel sekaligus untuk di publikasikan,apakah ada kiat dan cara tertentu? jika memungkinkan share pengalaman atau pencerahannya,
    terimakasih sebelumnya diperbolehkan mampir… Sukses selalu Pak Fathul..

    • Fathul Wahid said:

      Mas Abid,

      Sebelum menjawab saya ingin tahu alasannya. Kalau kita punya alasan bagus, seperti ‘cerita’ artikelnya terlalu rumit kalau digabung, atau kita mempunyai data yang cukup untuk dua dengan topik terpisah, saya pikir tidak masalah. Tetapi kalau niatnya supaya asal mempunyai publikasi banyak tanpa kontribusi yang cukup untuk setiap artikelnya, kita bisa diskusikan lebih lanjut. 🙂

      Terima kasih sudah mampir.

  5. Ambo Sappe said:

    As salamu alaikum pak fathul..artikelnya sangat bermanfaat pak..
    saya setuju pak bahwa kontribusi pada suatu penelitian itu menjadi sangat penting untuk diperhatikan apalagi pada level jurnal international. ada pengalaman teman dalam memasukkan jurnal international yang ditolak gara-gara kontribusi penelitiannya kurang yang telah dijabarkan.
    yang menjadi pertanyaan saya pak seberapa jauh signifikasi suatu kontribusi harus dijabarkan pada penelitian jika melihat kasus teman tersebut?
    di beberapa terbitan jurnal nasional yang saya baca malah sebaliknya bahwa kontribusi itu tidak terlalu signifikan dicantumkan dalam penelitiannya tapi bisa lolos pada terbitan yang terakreditasi, menurut bapak apakah memang seperti itu kenyataannya sehingga kualitas penelitian tidak begitu diperhatikan dan hanya dijadikan sebagai prasyarat saja?. terima kasih atas pencerahannya..

    • Fathul Wahid said:

      Wa’alaikumussalam,

      Penerbitan jurnal tidak lepas dari proses review yang seharusnya melibatkan lebih dari satu reviewer. Setiap reviewer, dalam tingkat tertentu, mempunyai latar belakang yang berbeda dan preferensi yang beragam. Setiap jurnal juga mempunyai fokus dan preferensinya. Karenanya, komentar dari reviwer bisa sangat beragam, dan bahkan bertolak belakang.

      Namun terlepas dari itu, ada norma umum yang dapat diikuti. Salah satunya terkait dengan kontribusi penelitian. Ukuran kontribusi setiap reviewer juga berbeda. Ini diluar kendali penulis. Yang penting, setiap meneliti (dan menulis) pastikan bahwa kita membuat kontribusi penelitian secara eksplisit. Saya sendiri, setiap membuat tulisan ilmiah, selalu saya tulisan kontribusi dengan jelas di kesimpulan (dan kadang saya juga ringkas di bagian pendahuluan).

      Untuk konteks Indonesia, seharusnya kita bisa lebih baik dari praktik yang sudah berjalan selama ini. Lagi-lagi, reviewer yang menjadi ‘penjaga gawangnya’,

      Mudah-mudahan membantu Mas.

Tinggalkan komentar