Penelitian desain

Saya merasa perlu menuliskan entri blog ini setelah lumayan sering melakukan review dan menolak artikel baik untuk jurnal maupun konferensi. Mudah-mudahan ada manfaatnya, atau paling tidak entri ini dapat membuka diskusi.

Beberapa tahun lalu, seorang profesor dalam sebuah disiplin bertanya untuk membuka diskusi serius terkait dengan filosofi penelitian, apakah mengembangkan software bisa dianggap penelitian?  Baginya, tidak.  Banyak kolega yang ‘kebakaran jenggot’ waktu itu, meski tidak tak sehelai rambutpun terlihat di dagunya. 🙂 Tidak jarang dalam beragam konferensi dan jurnal ilmiah di Indonesia kita temui artikel dengan tema ini, mengembangkan software atau sistem informasi (dalam artian artifak). Apakah melakukan desain dapat disebut penelitian?

Artikel seminal dari Hevner et al. (2004) yang dimuat MIS Quarterly memberikan jawaban atas pertanyaan ini.  Sejak terbit, artikel ini sudah disitasi lebih dari 3,700 kali. Tidak banyak peneliti di muka bumi ini yang mendapatkan sitasi sebanyak ini untuk sebuah artikel. Entri ini sebagian besar didasarkan pada artikel ini, yang diperkaya dengan bebarapa referensi lain.

Sebelum diskusi lebih lanjut ada baiknya kita tilik beberapa filosofi yang mendasari. Desain adalah sekaligus kata kerja dan kata benda. Desain melibatkan proses dan menghasilkan artifak. Menurut March and Smith (1995), dalam desain terdapat dua proses utama: membangun (build) dan mengevaluasi (evaluate). Artifak dari proses ini beragam, mulai dari konstruk, model, metode, sampai dengan instansiasi.  Artifak dibangun untuk memecahkan masalah. Kontruk dapat digunakan sebagai bahasa untuk mendefinisikan dan mengkomunikasi masalah dan solusi. Model membantu dalam memahami masalah dan solusi dan hubungan antara keduanya. Metode mendefinisikan proses yang dapat maujud dalam bentuk yang formal (seperti algoritma) dan informal (seperti deskripsi proses yang berasal dari praktik terbaik). Instansiasi menunjukkan bahwa konstruk, model, dan metode dalam diterapkan dalam dunia nyata.

Kembali ke masalah dalam pembukaan entri ini. Hevner et al. (2004) dengan sangat baik membedakan antara penelitian desain (design research) dan desain rutin (routine design). Perbedaannya terletak pada masalah yang diselesaikan dan solusi yang dikembangkan. Menurut Hevner et al. (2004), desain rutin adalah aplikasi pengetahuan yang ada untuk memecahkan masalah, seperti dengan memgembangkan sistem informasi keuangan, menggunakan artifak (konstruk, model, metode, dan instansiasi) yang sudah ada. Ini bukan penelitian, dan ini juga yang sering saya jumpai pada artikel yang saya tolak. Penelitian desain berfokus pada masalah penting yang belum terselesaikan dengan cara yang unik dan inovatif atau berfokus pada masalah yang sudah terselesaikan tetapi dengan menghadirkan cara yang lebih efisien dan efektif. Yang terakhir ini memberikan kontribusi pada pengembangan pengetahuan dan metodologi.

Pertanyaan selanjutnya, masalah seperti apa yang menjadi kajian penelitian desain. Berdasar studi Brook (1987; 1996) dan Rittel Webber (2984), Hevner et al. (2004) merangkumnya sebagai berikut, yang disebutnya sebagai wicked problems. Karakteristik masalah ini adalah:

  1. Kebutuhan dan batasan yang tidak stabil karena konteks lingkungan yang tidak jelas terdefinisi
  2. Interaksi yang kompleks antarkomponen masalah dan solusinya
  3. Fleksibilitas yang menyatu dalam mengubah proses desain maupun artifak desain
  4. Ketergantungan yang tinggi terhadap kemampuan kognisi dan sosial manusia dalam menghadirkan solusi yang efektif

Karenanya, penelitian desain, secara umum, dapat dimasukkan ke dalam kategori interpretif (cf. Iivari, 2007; Sein et al. 2011).

Jika masalah yang kita pecahkan tidak mempunyai salah satu karakteristik di atas, sangat mungkin yang kita lakukan adalah desain rutin dan bukan penelitian desain. Apakah desain rutin tidak bermanfaat? Jelas bermanfaat dalam beragam tingkat, tetapi itu bukan penelitian desain.

Lebih lanjut, Hevner et al. (2004), memberikan tujuh petunjuk (guideline) dalam melaksanakan penelitian desain.

  1. Penelitian desain harus menghasilkan artifak yang jelas, dalam bentuk konstruk, model, metode, atau instansiasi.
  2. Tujuan penelitian desain adalah mengembangkan solusi berbasis teknologi yang penting dan relevan untuk masalah bisnis.
  3. Manfaat, kualitas, dan kecukupan artifak desain harus diuji dengan saksama melalui metode evaluasi yang dilaksanakan dengan baik.
  4. Penelitian desain yang efektif harus memberikan kontribusi yang jelas dan dapat diverifikasi dalam hal artifak desain, fondasi desain, dan/atau metodologi desain.
  5. Penelitian desain didasarkan pada aplikasi metode yang saksama dalam pengembangan dan evaluasi artifak desain.
  6. Pencarian artifak yang efektif membutuhkan cara-cara yang tersedia untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan tetap mengindahkan ketentuan dalam lingkungan tempat masalah berada.
  7. Penelitian desain harus dipresentasikan secara efektif baik kepada audien yang berorientasi pada teknologi dan managemen.

Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian desain. Salah satunya adalah pemahaman dominan yang menekankan pada technological view dan akibatnya perhatian terhadap kontek organisasi yang membentuknya hanya minimal (Sein et al., 2011). Dalam bahasa lain, aspek relevansi yang menurut Hevner et al. (2004) perlu ditekankan, selain kesaksamaan (rigor) sering terabaikan. Tahap evaluasi sering dipisahkan dari penelitian desain ini.

Untuk mengatasi masalah ini, Sein et al. (2011) menawarkan metode penelitian yang mengawinkan antara action research (Baskerville & Wood-Harper, 1998) dan design research yang disebut dengan action desain research (ADR). Dalam formulasi masalah, ADR menekankan pada adanya integrasi yang menjaga relevansi penelitian karena berangkat dari masalah riil dalam praktik (practice-inspired research) dan kesaksamaan melalui proses pengembangan artifak desain yang berdasar teori yang kuat (theory-ingrained artifact). Selain prinsip formulasi masalah tersebut, Sein et al. (2011) juga menawarkan prinsip lain termasuk yang terkait dengan pembangunan, intervensi, dan evaluasi; refleksi dan pembelajaran; serta formalisasi pembelajaran.

Untuk diskusi lebih lanjut, sila lirik beberapa artikel yang diacu di atas dan dituliskan dalam referensi di bawah. Mudah-mudahan ‘debat’ tentang apakah mengembangkan software atau sistem informasi termasuk dalam penelitian atau tidak terjawab.

Referensi

Baskerville, R., & Wood-Harper, A. T. (1998). Diversity in information systems action research methods. European Journal of Information Systems, 7(2), 90-107.

Brooks, F. P. (1987). No silver bullet: Essence and accidents of software engineering. IEEE computer, 20(4), 10-19.

Brooks, F. P. (1996). The computer scientist as toolsmith II. Communications of the ACM, 39(3), 61-68.

Iivari, J. (2007). A paradigmatic analysis of information systems as a design science. Scandinavian Journal of Information Systems, 19(2), 39.

March, S. T., & Smith, G. F. (1995). Design and natural science research on information technology. Decision support systems, 15(4), 251-266.

Sein, M. K., Henfridsson, O., Purao, S., Rossi, M., dan Lindgren, R. (2011). Action design research. MIS Quarterly, 35(1), 37-56.

Yogyakarta, 17 Maret 2013

19 comments
    • Tergantung software yang dikembangkan dan bagaimana mengembangkannya.

      • jika Tergantung software yang dikembangkan dan bagaimana mengembangkannya?
        untuk menentukan software yang termasuk Penelitian Desain atau bukan itu bagaimana menentukannya pak?

        • Fathul Wahid said:

          Salah satunya, software tersebut dapat dikembangkan dengan metode atau pengetahuan yang sudah ada atau perlu dipikirkan metode baru, atau dikembangkan pengetahuan baru? Jika yang pertama, maka nampaknya software tersebut agak jauh dari penelitian desain.

    • yelmi said:

      Assalamualaiukum. pak terimakasi untuk tulisannya. karena sangan menambah wawasan dan pengetahuan saya. malam ini saya sedang meneliti kembali tulisan yang saya buat atau mengkaji kembali penelitian yang saya lakukan ini masuk kedalam kategori mana. disini terjawab pak. penelitian desain ternyata.

      semoga bapak selallu sehatat dan mudah rezki.
      assalamualaikum.

  1. mauly said:

    saat ini sy sedang menulis dengan kerangka penelitian desain.tapi setelah mebaca tulisan ini, terutama tentang karakteristik penelitian desain, sy jadi ragu apakah tulisan sy itu bisa disebut penelitian desain atau tidak.
    anyway, makasih review nya pak. membantu sekali 🙂

    • Fathul Wahid said:

      Sama-sama Mbak Mauly. Senang kalau tulisan saya aa manfaatnya; atau paling tidak membuat kita berpikir ulang. 🙂 Sukses terus ya.

  2. mohon di buat topik khusus langkah-langkah penelitian dari awal sampai akhir dan juga di buat langkah-langkah penyusunan daam tulisan hasil penelitian.
    terima kasih

    • Fathul Wahid said:

      Untuk langkah detil, njenengan bisa akses referensi yang saya berikan di bawah; yang menurut saya terlalu panjang untuk ditulis dalam entri blog. tetapi coba saya pikirkan, bagaimana mengemasnya dengan sederhana dan pendek. Terima kasih sarannya.

  3. Gilang Arif Freeanto said:

    Terima kasih pa untuk tulisan nya yang bermanfaat, saya mau bertanya 1. apakah semua hal dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan penelitian ?, 2. dalam hal penelitian saya tertarik meneliti dalam bidang sains yang memang menurut saya hasilnya pasti, apa perbedaanya meneliti dalam bidang psikologi ?

    • Fathul Wahid said:

      1. Semua penelitian harusnya didorong dengan alasan yang kuat, baik empiris maupun teoretis, mengapa perlu memerlukan penelitian dalam ranah tertentu. Penelitian juga seharusnya memberikan pemahaman, tilikan, artifak baru. Jadi jawaban pertanyaan Anda: ide penelitian dapat berawal dari hal sehari-hari.

      2. Kalau itu soal pembagian peran Mas, dengan segala tantangannya. Dalam ilmu sosial, pendekatan yang digunakan berbeda dengan ilmu alam. Kalau njenengan runut ulang secara filsafat ilmu, njenengan akan menemukan banyak hal menarik. Tidak jarang, kaidah dalam ilmu alam dijadikan acuan dalam ilmu sosial. Namun tidak semua orang setuju. Karenanya ada pendekatan yang berbeda, yang didasari dengan asumsi yang berbeda. Saya tidak tahu banyak tentang disiplin psikologi, namun kemungkinan ada persamaan di sana-sini. Yang jelas ‘subyek’ penelitian ilmu alam dan ilmu psikologi (manusia) berbeda.

  4. nurchim said:

    saya tertarik pembahasan di paragraf-paragraf akhir Pak yang memuat Action Design Research, mungkin bisa dibahas di dalam entri baru tentang ADR ini. Sehingga dapat diperoleh comparing antara action research, design research dan ADR itu sendiri entah dari segi metodologi, artifact, subject feedback, success measure. Sehat dan sukses selalu Pak.

    • Fathul Wahid said:

      Nuwun Mas atas masukannya. Insya Allah kalau ketemu waktunya akan diskusikan action research, design research, dan ADR. Sukses selalu Mas.

  5. nur widiyasono said:

    Pak, emailnya apa yach pak ? saya ingin konsul via japri saja…. saya pernah menulis jurnal tetapi ditolak 😦 alasannya tulisan yang buat saya hanya cocok untuk tulisan di buku / majalah …. jadi ingin tahu lebih jauh lagi letak kesalahan2 tersebut . maturnuwun sebelumnya.

    • Fathul Wahid said:

      Silakan Mas Nur. Ini e-mail saya: fathulwahid(at)yahoo(dot)com.

  6. Ridho Muktiadi said:

    Terima Kasih pak Fathul sudah membagi ilmunya, bisa tolong diberitahu kerangka pembentukan penelitian desain??

  7. Kesimpulan saya sementara(mohon koreksi jika salah), pembuatan software bisa masuk penelitian desain jika :
    1. Dasar pembuatannya membutuhkan pengetahuan/model/metode baru (dibutuhkan studi teori dalam hal ini).
    2. Software dibuat dengan studi kebutuhan pada suatu organisasi (mampu memecahkan masalah)
    3. Software ini memberikan kontribusi yg nyata ( tdk bersifat membuat software sejenis/sama dr yg telah ada).

  8. Maulid said:

    apakah pengembangan video pembelajaran (menggunakan aplikasi yang ada) bisa dilakukan dengan penelitian desain?

Tinggalkan komentar