Gaya penulisan dalam publikasi internasional

“Mahabir Pun leaned back, knitted his eyebrows, and smiled wanly at the visitor sitting across the table piled high with all manners of papers. The diminutive dynamo thought awhile before answering the visitor’s question which was “How did you singlehandedly bring the Internet to this isolated remote mountain region of Nepal? What drove you to do this? Why of all places Nangi?” He was proud of what he has achieved which was no less than bringing in the outside world to the remote mountain villages in the shadow of the towering peaks of the Himalayas.”

Apa yang Anda bayangkan ketika membaca paragraf di atas? Potongan sebuah novel, cerita pendek, atau fitur di koran? Jika jawaban Anda adalah salah satu dari ketiga alternatif tersebut, Anda salah.  Paragraf tersebut adalah potongan dari artikel (Sein et al., 2012) dari konferensi paling bergengsi di bidang sistem informasi, International Conference of Information Systems (ICIS) yang baru saja diselenggarakan di Orlanda, Florida, Amerika Serikat, pada petengahan Desember 2012. Artikel tersebut adalah kasus pembelajaran (teaching case) dan dipilih sebagai artikel terbaik pada ICIS 2012. Kebetulan saya kenal personal dengan ketiga penulis tersebut: guru, mantan teman sekantor ketika menjadi research fellow, dan mantan teman sekelompok ketika mengambil program master. 🙂

Perhatikan gaya penulisannya? Terasa berbeda dengan sebagian besar artikel yang pernah Anda baca bukan? Inilah yang disebut dengan ‘gaya penulisan’. Selama ini kita mengenal gaya penulisan artikel untuk publikasi internasional yang kaku dan kering. Gaya penulisan yang ditampilkan seragam. Meminjam istilah Van Maanen (1995), ‘style of nonstyle‘, alias ‘mati gaya’. Keseragaman gaya ini adalah dampak dari tekanan institutional yang akhirnya menentukan apa yang lazim dan yang tidak. Hal ini telah menutup keragaman. Dane (2011) secara retoris menanyakan, apakah petikan gitar Eric Claptop, Carlos Santana, dan Slash terdengar sama ketika memainkan sebuah lagu? Harapan kita tentu tidak. Kita menginginkan orisinalitas dari setiapnya. Karenanya tidak salah jika Zinsser (2006) mengingatkan kita, “Be yourself when you write…. Never say anything in writing that you wouldn’t confortably say in conversation“. Memang tidak mudah menemukan gaya kita sendiri, tetapi tidak ada salahnya dicoba. Tentu gaya di sini tidak diartikan mengorbankan kualitas artikel. Untuk menulis artikel yang bergaya dan berkualitas, tidak ada cara lain kecuali dengan terus menulis.

Bagaimana supaya kita bisa menulis artikel yang tidak kaku dan bergaya? Dane (2011) memberikan tiga resep. Anda boleh setuju, boleh tidak. Resep pertama adalah dengan menulis untuk audiens nonakademik. Kita bisa menulis untuk koran atau majalah. Dengan menulis di media populer seperti ini, kita dipaksa menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan argumen yang jelas. ‘Pengalaman’ dari menulis populer bisa kita gunakan dalam menulis artikel untuk publikasi internasional. Karenanya saya sangat senang dengan komentar salah satu reviewer artikel saya yang diterima di sebuah konferensi internasional yang mengatakan, “The paper is well written and easy to follow even for the non-expert.” Jujur, saya ingin mendapatkan komentar serupa untuk semua artikel saya.

Resep kedua adalah dengan meluangkan waktu menulis kreatif. Kita bisa meluangkan waktu menulis cerita pendek, misalnya. Banyak media yang bisa digunakan, termasuk blog. Biarkan orang lain memberikan komentar untuk tulisan kita. Dane (2011) sadar betul bahwa sarannya ini mungkin dicibir oleh banyak orang dan dianggap radikal. Tetapi seperti yang dikutip olehnya dari Gioia (2004), praktik seperti ini disebut dengan ‘getting lost before you can get found‘. Pengalaman ini menurut Dane (2011) dapat mencerahkan.

Resep ketiga supaya kita bisa mengembangkan kemampuan menulis yanga tidak kaku adalah dengan banyak membaca. Banyak membaca di sini diartikan dengan membaca tulisan beragam bidang, termasukan bacaan yang bersifat rekreasional. Kita akan belajar banyak bagaimana kata dan bahasa digunakan dalam beragam bidang. Bisa jadi kita bisa juga menemukan humor yang bisa kita gunakan dalam membingkai tulisan kita atau menyampaikan ide kita. Salah satu contoh artikel yang penuh dengan humor, menurut saya, adalah Sand-Jensen, K. (2007). Coba perhatikan potongan artikel berikut:

“Do not choose a theory because it is fashionable, or because your supervisor likes it, if it does not really engage you.”

“Finally, I suggest that the paper can be used for personal reading and reflection, or discussion in forums such as seminars on research methodology. However, whether you like the paper is your choice, and not within my control.”

Potongan tersebut saya ambil dari Walsham (2006). Bagi saya, ada unsur humor di sana. Memasukkan humor ke dalam artikel bukan hal yang mudah, dan merupakan pekerjaan serius. Zinnser (2006) secara khusus bahkan menulis satu bab khusus tentang menulis non-fiksi dengan pendekatan humor.

Tentu saja, tidak (atau belum) semua disiplin bisa mengakomodasi pendekatan ini. Perlu waktu agar gaya penulisan artikel yang tidak kaku dan bergaya bisa diterima. Ingat, reviewer masih memegang peranan penting dalam menentukan sebuah artikel diterima atau tidak. Jika reviewer belum belum bisa menerima gaya yang baru, mungkin waktu yang dibutuhkan lebih lama lagi. Dalam sebuah artikel komentar, Davison (2011:100) menuliskan tentang peran reviewer yang menentukan:

“As a journal editor myself, I notice a tendency for AEs and reviewers to reject what is unfamiliar or questionable, so as not to rock the boat of the status quo, to accept what is methodologically
rigorous and theoretically significant. This kind of myopic reverence for orthodoxy and disdain for the new is misplaced. Instead of a deluge of well-done trivia, we need an iconoclastic approach to orthodoxy and a flourishing of innovative research that contributes to making the world a better place.”

Kutipan di atas juga mengindikasikan gaya penulisan yang unik. Kalau bahasa Inggris bukan bahasa ibu kita, kira-kita berapa kali kita harus membuka kamus untuk memahami potongan paragraf di atas? 🙂

Sekali lagi, Anda boleh setuju atau tidak dengan perlunya gaya penulisan, termasuk resep di atas. Sambil memutuskan, mungkin Anda ingin membaca dua paragraf terakhir dari artikel yang sama (Sein et al., 2012) pada pembukaan entri ini. Berikut saya salinkan:

“Mahabir looked out of the windows at the snow-capped peaks shimmering in the far horizon. “We have now reached 150 villages and we want to reach more. Can we do it? We have done well in many villages, but there have been others where things have not gone well. You know these villages may look the same, but they are not so. Not all are from one community, some seem to want the things we offer, others not that much. Some of the groups in some villages – you know the mother’s society, the youth society – are more enthusiastic than in other villages. I can’t be everywhere.” He spread his hands.

Then he said, “I want to do so much more. I want our planned multicasting system to work, where the main idea is to provide Math, English, and Science education to students in the remote villages through online and real-time communication. Qualified teachers from the urban schools can lecture online for students in the mountain areas who don’t have such teachers. At the same time, they can ask question through online chatting or audio systems, through the interactive and real-time learning management system. “ He smiled his wan smile and asked, “How can you help us do this”?

Ingat, dalam memutuskan, pertimbangkan juga tradisi dalam disiplin Anda. Ada risiko yang menyertai setiap keputusan. Tidak siap dengan risikonya? Jangan coba-coba melakukannya. Hehehe. 🙂

Referensi

Dane, E. (2011). Changing the tune of academic writing: Muting cognitive entrenchment. Journal of Management Inquiry, 20(3), 332-336.

Davison, R. M. (2012). Making a world of a difference. Journal of Information Technology, 27(2), 100-101.

Sand-Jensen, K. (2007). How to write consistently boring scientific literature. Oikos, 116, 723-727.

Sein, M. K., Thapa, D., dan Sæbø, Ø. (2012). Bringing the outside world to the remote mountains: the Nepal Wireless Networking Project. Proceedings of the International Conference of Information Systems (ICIS) 2012, Orlanda, Florida, Amerika Serikat, 16-19 Desember 2012.

Van Maanen, J. (1995). Style as theory. Organization Science, 6(1), 133-143.

Walsham, G. (2006). Doing interpretive research. European Journal of Information Systems, 15(3), 320-330.

Zinsser, W. (2006). On Writing Well: The Classic Guide to Writing Nonfiction. New York: HarperCollins.

8 comments
  1. Pan W said:

    Hmm sharing yang keren dari sumber yang keren mas boss. Tapi saya kurang yakin kalau saya yang notabene masih penulis pemula dan kurang memiliki track record bisa diterima tulisannya dengan model frase di atas. Karena saya khawatir mereka akan melihat siapa dulu penulisnya, kok berani menulis dengan model cerita novel di atas.

    • Fathul Wahid said:

      Makasih Mas Dimas sudah mampir. Hehehe. Reviewer tidak tahu siapa yang nulis dong Mas. Kan, double blind review. 🙂 Paragraf terakhir tulisan di atas perlu dilihat kembali. Hehehe.

  2. Hariani said:

    Assalamu Alaikum… keren pak tulisannya… nambah wawasan lgi nih 🙂

    saya pernah baca pak tentang jurnal palsu, bagaimana pendapat bapak? katanya jurnal palsu tersebut tidak diakui ya pak…. kasihan dong pak bagi si peneliti…. dan bagaimana membedakan pak bahwa jurnal tersebut yang asli atau palsu? kalau masih dinegara kita mungkin masih mudah mengidentifikasi, apalagi yang Internasioanal hanya ada beberapa di Indonesia, tapi kalau yang dari luar negeri pak itu gimana?? 🙂

  3. Kisti Hakika said:

    Tema pada artikel ini sangat menarik pak, tetapi apakah dapat gaya penulisan pada kutipan di artikel ini dapat digunakan dalam penelitian ilmiah?
    Bagaimana dengan di Indonesia pak? Apakah ada paper/makalah yang menggunakan gaya penulisan seperti kutipan diatas? Karena kebanyakan paper/makalah di Indonesia menggunakan gaya penulisan yang kaku dan sulit dimengerti untuk orang awam. Mungkinkan gaya penulisan seperti itu dapat diterapkan di Indonesia?

    • Fathul Wahid said:

      Mbak Kisti,

      Lha, yang saya kutip itu dari artikel ilmiah. Tapi kalau kita tidak sanggup ya jangan ambil risiko. Orang yang berani menulis seperti itu, mempunyai kemampuan literasi di atas rata-rata.

      Di Indonesia nampaknya masih sulit dilakukan, karena beda tradisi. Kalau menulis buku, lebih leluasa dilakukan, kalau mau. 🙂

  4. tema yang cukup menarik pak… yang saya mau tanyakan untuk resep yang pertama.. untuk menulis disuatu koran atau majalah terkadang menggunakan bahasa yang menarik(gaul) dan sering sekali tidak baku.. apakah nantinya kita tidak terbiasa dengan gaya penulisan yang seperti itu padahal untuk penelitian ilmiah harus menggunakan bahasa yang baku? trimakasih 🙂

    • Fathul Wahid said:

      Ya harus dibedakan Mas. Gaya bahasa di koran beda dengan di jurnal. Kontrol diri diperlukan di sini. 🙂

Tinggalkan komentar