Melakukan observasi

Ketika menulis entri blog ini, saya teringat dua kejadian masa lampau. Pertama, ketika mengikuti kelas metode penelitian kualitatif bersama dengan Ann Langley di Norwegian School of Economics and Business Administration (NHH) di Bergen pada Februari 2011. Di salah satu sesi tentang melakukan observasi kita diminta untuk menonton sebuah film yang dibuat pada tahun 1957. Judulnya adalah ‘12 Angry Men‘, dua belas orang marah. Film yang sangat menarik untuk dijadikan materi pembelajaran sesi observasi. Dalam kelompok berempat, kami diminta untuk melakukan analisis terhadap beragam aspek. Tentu tidak dari sisi sinematografi, tetapi dari aspek yang terkait dengan cerita di fim tersebut, misalnya terkait dengan negosiasi dan komunikasi antaraktor sepanjang film. Setting sebagian besar film hanya di sebuah ruangan yang melibatkan 12 juri pengadilan untuk memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Saya tidak akan bercerita lebih banyak tentang film ini, di mana Henry Fonda bermain sangat brilian.

Kejadian kedua pada akhir September 2012, ketika saya juga mengikuti seminar terbatas (mereka menyebutnya conversation series) di Copenhagen Business School (CBS) yang bertajuk ‘Future of organization studies: The role of images (verbal and visual) in organization research‘. Salah satu  hal menarik yang dibahas dalam seminar itu adalah contoh pengumpulan data yang melibatkan kamera video untuk merekam informan ketika menjawab pertanyaan dalam wawancara. Gerakan atau gesture informan dapat memberikan banyak informasi tambahan dalam analisis, dibandingkan ketika misalnya hanya direkam suaranya atau bahkan ‘hanya’ dicatat, meskipun secara ekstensif.

Dua kejadian di atas adalah contoh bagaimana observasi dalam penelitian dilakukan. Observasi sendiri awalnya digunakan secara ekstensif dalam penelitian etnografi yang melibatkan catatan lapangan (field notes) yang ekstensif (Van Maanen, 2011). Observasi dapat dilakukan pada beragam konteks di dunia nyata, dan biasanya (meskipun tidak selalu) digabungkan dengan teknik pengumpulan data lain seperti wawancara dan analisis dokumen/arsip.

Terlepas dari beberapa masalah yang menyertainya, termasuk masalah keterbukaan dengan yang diamati dan mendapatkan hak akses yang sulit, menurut Mulhall (2003), observasi mempunyai beberapa manfaat, di antaranya (a) memberikan tilikan (insight) atas interaksi antar elemen atau kelompok; (b) mengilustrasikan keseluruhan fenomena yang diobservasi; (c) menangkap konteks dan process; dan (d) menginformasikan tentang pengaruh lingkungan fisik. Observasi juga dapat digunakan untuk membandingkan apa yang orang katakan dan orang lakukan atau kenyataannya (Mulhall, 2003). Observasi dapat memvalidasi keterangan informan dengan membandingkannya dengan hasil observasi.

Salah satu contoh artikel favorit saya yang menggunakan observasi adalah Barley (1990). Barley sekarang adalah profesor di Stanford University dan mendapatkan PhD dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Observasi tersebut dilakukan ketika dia menempuh program PhD di MIT terhadap penggunaan teknologi (seperti CT scan, radiografi, dan ultrasound) oleh radiologis. Dia melakukan observasi selama setahun, empat hari sepekan, mulai jam 8-9 pagi sampai 6-7 jam sesudahnya; dengan hanya ‘libur’ selama tujuh pekan di antaranya. Setiap hari dia menghasilkan 20 halaman catatan lapangan atau total setebal 2500 halaman catatan lapangan spasi tunggal selama penelitian. Tujuan penelitian Barley adalah melihat bagaimana teknologi digunakan oleh radiologis dan bagaimana teknologi tersebut mempengaruhi struktur sosial melalui proses negosiasi dan interaksi. Ini adalah penelitian yang luar biasa karena menggunakan tiga macam perbandingan: antar rumah sakit, antar teknologi, dan antar waktu. Padahal, melakukan salah satu saja sudah cukup untuk mendapatkan predikat PhD. 🙂

Observasi, terutama yang melibatkan keterlibatan yang ‘dekat’ seperti contoh di atas, sangat menyita waktu. Bandingkan misalnya dengan survei yang bahkan bisa dilakukan dengan membayar enumerator. Selain itu, ada risiko ‘terhanyut’ ke dalam pandangan orang yang diamati dan tidak bisa menjaga interpretasi yang segar atas fenomena yang diobservasi (Walsham, 2006).

Catatan lapangan sangat sentral posisinya dalam observasi. Menurut Eisenhardt (1989) praktik yang baik dalam membuat catatan lapangan adalah dengan menuliskan apapun kesan yang muncul, karena kita tidak tahu catatan mana yang akan bermanfaat kemudian. Bisa jadi, yang tadinya kita anggap tidak bermanfaat dan tidak akan digunakan, justru menarik untuk dianalisis. Praktik yang baik lainnya, ketika membuat catatan lapangan, adalah dengan selalu mengajuan pertanyaan “apa yang saya pelajari?”, atau “apa yang beda dengan kasus sebelumnya?”.

Lebih spesifik, apa yang dapat ditulis dalam catatan lapangan? Mulhall (2003) memberikan daftar berikut:

  1. Karakteristik struktur dan organisasi (bentuk bangunan, fasilitas, serta lingkungan di sekitarnya dan bagaimana digunakan)
  2. Orang (bagaimana mereka berperilaku, berinteraksi, berpakaian, dan bergerak)
  3. Aktivitas harian
  4. Kejadian khusus (misal bagaimana rapat dilakukan, apa yang dibahas)
  5. Dialog yang terjadi
  6. Diari kejadian harian secara kronologis (baik di lapangan atau sebelum memasuki lapangan, misalnya terkait dengan proses mendapatkan akses)
  7. Diari refleksi personal (termasuk kesan/refleksi personal selama di lapangan)

Satu hal lagi ingin saya tambahkan. Jika mengambil gambar atau merekam dengan video diijinkan, lakukan. Ini akan merekam banyak hal yang tidak bisa dibuat dalam catatan lapangan. Apa yang Anda bayangkan ketika melihat gambar berikut. Gambar pertama adalah Dinas Perizinan di Yogyakarta, kedua Kantor Pelayanan Terpadu di Sragen, dan ketiga petani pengguna ponsel di kebun jagung di Bantul. 

Di sini, adagium ‘a picture is worth a thousand words’ berlaku. Namun gambar atau video yang direkam harus diinterpretasikan oleh peneliti dalam melakukan analisis data. Apalagi saat ini, paket software untuk analisis data kualitatif, seperti NVivo memfasilitasi analisis data dalam beragam bentuk, mulai dari teks, audio, gambar, sampai dengan video.

Pengalaman saya sendiri, meskipun sangat sedikit, seringkali ketika melakukan observasi, terlintas bagaimana informasi yang saya dapat akan dianalisis kemudian. Termasuk di dalamnya kadang saya membuat skema hubungan antarkonsep, kategorisasi konsep, dan lain-lain, yang bisa saja jadikan rujukan dalam proses analisis.

Referensi

Barley, S. R. (1990). Images of imaging: Notes on doing longitudinal field work. Organization Science, 1(3), 220-247.

Eisenhardt, K. M. (1989). Building theories from case study research. Academy of Management Review, 14(4), 532-550.

Mulhall, A. (2003). In the field: notes on observation in qualitative research. Journal of Advanced Nursing, 41(3), 306-313.

Van Maanen, J. (2011). Tales of The Field: On Writing Ethnography. University of Chicago Press.

Walsham, G. (2006). Doing interpretive research. European Journal of Information Systems, 15(3), 320-330.

Kristiansand, 5 November 2012

8 comments
  1. ary said:

    assalamu’allaikum wr wb p fathul, saya ary..p fathul saya salut dengan tulisan bapak diblog, banyak membantu saya yang masih awam dalam menulis.. ^_^…terima kasih p fathul ….p fathul, memang baik apabila banyak media yang bisa kita pakai ketika kita melakukan observasi misal seperti kamera/video/perekam…tapi tidak semua media bisa dipakai ditempat kita melakukan penelitian..padahal sebenarnya kita bisa merekam banyak hal dengan bantuan media tersebut..mungkin p fathul sendiri ketika melakukan penelitian pun pernah mengalaminya..boleh berbagi p fathul tentang pengalaman tersebut dan bagaimana cara mengatasinya sehingga kita memang benar benar bisa optimal dalam melakukan observasi untuk penelitian kita…terima kasih p fathul tuk sharingnya ^_^

    • Wa’alaikumussalam Mbak Ary. Intinya dalam wawancara atau observasi yang pertama dibangun adalah “kepercayaan” Mbak. Tanpa kepercayaan ini, nampaknya akan sulit bagi kita untuk mengakses data yang jujur, termasuk diijinkan melakukan perekaman. Tetapi kalau memang tidak diijinkan, gunakan cara lain Mbak, jangan dengan dalil ingin mendapatkan data lebih banyak, tetapi justru merusak kepercayaan. Alternatifnya adalah “extensive note taking” atau “ajak kawan/peneliti lain dalam wawancara/ovbservasi” untuk mendapatkan pandangan lain. Jangan lupa tulis “field notes” atau “diary” segera setelah dari lapangan ketika ingatan masih segar. Selamat meneliti Mbak.

  2. ary said:

    siapp pak fathul ^_^…makasih tuk supportnya..bapak, setelah saya membaca tulisan bapak diblog ini, saya belum menemukan tulisan yang spesifik mengenai perumusan hipotesis ataupun tulisan mengenai kajian pustaka selama kita melakukan penelitian..boleh dishare pak fathul tentang pengalaman atau tip triks dari bapak mengenai perumusan hipotesis atau penulisan kajian pustaka dalam publikasi..terima kasih p fathul 🙂

  3. sigit purnomo said:

    Ass Pak Fathul, saya mohon penjelasan mengenai penelitian dengan pengukuran/pengamatan. Saya masih bingung tentang validasi data hasil pengukuran/pengamatan yang saya peroleh, walaupun secara fisik saya peroleh dengan jujur dan secara statistik sudah diuji, tetapi saya masih ragu apakah data saya akan dipercaya oleh orang lain? karena pengukuran/pengamatan dilakukan tanpa saksi. Jadi intinya saya menginginkan informasi untuk mendapatkan validasi data hasil penelitian yang dilakukan dengan pengukuran/pengamatan (yang biasanya dilakukan dengan menggunakan alat ukur). Mohon kesediaan pak Fathul memberikan pencerahan bagi saya. Wss.

  4. sigit purnomo said:

    Ass., pak Fathul. Saya usul bapak dapat memberikan tata cara pengambilan data melalui pengukuran yang dapat dipercaya atau yang validasinya diakui oleh kalayak banyak. apakah data pengukuran dapat dilakukan sendiri dengan peralatan milik sendiri atau dilakukan oleh orang lain dengan peralatan milik orang lain pula, yang mana peralatan yang digunakan adalah sama dan mungkin kedua peralatan tersebut juga sama-sama terkalibrasi oleh lembaga independen.
    Jawaban bapak akan sangat bermanfaat bagi saya.
    Wass.

    • Wa’alaikumussalam Mas Sigit, Yang saya tangkap, pengamatan yang njenengan maksudnya menggunakan alat. Saya cukup awam untuk kasus ini, tetapi pandangan awam saya adalah: supaya data yang dihasilkan valid dan reliabel alat harus dikalibrasi. Dalam kasus njenengan sudah dikalibrasi oleh lembaga yang kompeten.

      Untuk kasus ini, nampaknya salah satu cara meningkatkan kualitas data adalah dengan melakukan *pengamatan berulang* atau *menggunakan lebih dari satu alat*. Kadang ada perbedaan, meski kecil. Nah, saya tidak tahu dalam tradisi disiplin njenengan, berapa besar perbedaan yang bisa ditoleransi.

      Kalau mau menggunakan uji statistik untuk memeriksa apakah perbedaan, kedua alat ukur atau kedua set hasil pengukuran signifikan atau tidak, njenengan bisa melakukan pengukuran sebanyak minimal 30 kali untuk setiap alat atau set (ini banyak data terkecil yang memungkinkan untuk uji statistik dengan sampel kecil, uji t untuk perbandingan rata-rata, misalnya).

      Mudah-mudahan membantu Mas.

  5. Bagus Muhammad Akbar said:

    Terima kasih pak tulisannya sangat memberi gambaran tentang cara melakukan suatu observasi. Namun cara untuk memperoleh data selain observasi, wawancara, dan literatur review masih ada cara lain yaitu dengan kuesioner. Oleh karena itu, saya memohon Pak Fathul juga menulis tentang cara membuat dan melakukan kuesioner dengan baik pak.

    Terima Kasih.

    • Fathul Wahid said:

      Terima kasih sarannya Mas Bagus. Insya Allah saya pikirkan untuk entri mendatang.

Tinggalkan Balasan ke Fathul Wahid Batalkan balasan