Merangkai bahasa dalam publikasi ilmiah

Banyak yang percaya bahwa salah satu kendala dalam publikasi ilmiah internasional adalah penguasaan bahasa yang digunakan, terutama bahasa Inggris. Saya setuju. Diskusi beberapa hari belakangan terkait dengan penggunaan bahasa Inggris di Rintisan Sekolah Bertaraf (atau Bertarif?) Internasional (RSBI) yang sedang dibahas di Mahkamah Konstitusi juga menarik. Intinya, penguasaan bahasa Inggris bukan untuk ‘gaya-gayaan’ dan bahkan meninggalkan akar budaya. Ini nampaknya yang menjadi keprihatinan mereka yang mengatasnamakan pegiat pendidikan. Di sini tentu pilihannya bukan biner, ya-tidak, tetapi harus memperhatikan konteks. Salah satu konteksnya adalah publikasi ilmiah internasional.

Jika kita termasuk yang mempunyai masalah dalam bahasa Inggris, tenang, temannya banyak di planet ini. Tidak lebih dari seperempat penduduk planet ini yang menggunakan bahasa Inggris. Dalam berbahasa, menurut saya ada dua hal pokok yang terkait: kosakata (vocabulary) dan tata bahasa (grammar). Tetapi dalam menulis, menurut saya yang lebih penting dari kedua hal tersesbut, meskipun masih terkait, adalah kerunutan logika berpikir. Jika Anda belajar pemrogram komputer, logika ini adalah algoritma, dan bahasa pemrograman (C++, Lisp, Prolog, PhP, Java, dan lain-lain) adalah bahasanya (ada kata kunci [kosakata] dan aturan penulisan instruksi [tata bahasa]).

Logika yang tidak runut biasanya tercermin dalam tulisan. Ini bisa terkait dengan bahasa apa saja. Bagaimana mengatasinya? Berikut beberapa pikiran berdasar pengalaman saya yang masih sedikit.

Pertama, pastikan sebelum menulis, kita tahu apa yang akan dituliskan. Terdengar klise bukan? Bisa jadi. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa banyak tulisan (maaf, biasanya tugas mahasiswa) yang pernah saya baca mengesankan bahwa yang menulis tidak paham dengan apa yang ditulis. Setelah saya cek memang, seringkali mereka hanya sekedar ‘salin-tempel’ (saya lebih menyukai istilah ini daripada copy-paste, apalagi diucapkan sebagai ‘kopi-paste’ dan bukan ‘kopi-pas’). Praktik plagiarisme ini tentu sangat menganggu, dan menjebak banyak dari kita untuk tidak mengembangkan logika berpikirnya sendiri.

Kedua, dalam tataran yang lebih teknis, pesan guru bahasa Indonesia kita sewaktu Sekolah Dasar perlu diingat kembali. Setiap paragraf harus mempunyai pokok pikiran (main idea). Bentuknya bisa beragam, bisa di kalimat pembuka, kalimat penutup, atau bahkan semua kalimat. Pada tahap awal memang terkesan mekanistik, namun ketika kita mulai terbiasa, kita akan melupakan kaidah ini dan menulis akan terasa mengalir begitu saja. Persis seperti kita belajar naik sepeda atau sepeda motor pertama kali; terlalu banyak aturan yang harus diperhatikan. Setelah lancar, kita akan melakukannya ‘tanpa sadar’. Kuncinya apa? Latihan.

Coba Anda kembangkan ‘kerangka’ setiap akan menulis. Misal, ketika saya akan menulis tentang eProcurement di sektor publik, saya menentukan kerangka sebagai berikut:
1. Definisi
2. Lingkup
3. Manfaat secara umum
4. Manfaat di sektor publik
5. Faktor kesuksesan
6. Hambatan
7. Persamaan antara eProcurement di sektor publik dan sektor swasta
8. Perbedaan di antara keduanya
9. Perspektif implementasi eProcurement

Berdasar kerangka ini, saya dapat dengan mudah, mengembangkan satu sub-bab dengan pokok pikiran seperti di atas. Saya pun bisa dengan mudah mencari literatur pendukung dengan beragam kata pencarian yang tepat.

Ketiga, dalam tataran yang lebih detil lagi, terkait dengan merangkai kalimat. Rumus membuat kalimat yang diberikan oleh guru Sekolah Dasar kita jangan sampai dilupakan: SPOK (subyek, predikat, obyek, dan keterangan). Setiap setiap kalimat pastikan komponen ini diperhatikan. Beberapa kalimat hanya mengandung SPO, beberapa lengkap, beberapa lainnya bahkan mungkin hanya SP (untuk predikat yang berasa dari kata intransitif yang tidak membutuhkan obyek). Tentu ada banyak variasi yang bisa ditambahkan, seperti anak kalimat, kalimat majemuk, dan sejenisnya.

Keempat, pilihan kata juga perlu diperhatikan. Pikirkan sebelum menggunakan sebuah kata, apalagi dalam bahasa Inggris yang bukan bahasa ibu kita. Jangan gunakan sebuah kata, kecuali kita paham betul apa maksudnya. Gunakan kamus. Saat ini banyak kamus online, atau jika Anda pengguna Mac, ada aplikasi kamus yang bisa didapatkan dengan gratis. Piliahn kata ini (atau diksi) bisa terkait dengan beberapa hal, paling tidak sisi formalitas, kelaziman, dan ketepatan makna. Sebagai contoh, kata keterangan ‘probably’ dianggap lebih formal daripada ‘perhaps’, ‘large’ lebih formal daripada ‘big’ (misalnya, gunakan ‘large companies’ dan bukan ‘big companies’ dalam publikasi ilmiah). Kelaziman bisa terkait dengan kata (atau rangkaian kata) yang mengesankan subyektivitas, seperti ‘I was shocked when …” (kalimat ini sangat subyektif). Gantinya, untuk maksud yang sama, misalnya kita bisa gunakan, ‘… was surprising’. Ketepatan makna terkait dengan diksi. Jika yang kita maksud, misalnya ‘beberapa’ (lebih dari dua tetapi tidak banyak), gunakan ‘some’ dan bukan ‘several’. Atau, jika yang kita maksud ‘sebagian besar’ tetapi kurang dari 50%, gunakan ‘a large proportion’ dan bukan ‘the vast majority’, dan sebagainya. Termasuk dalam konteks ini adalah ketika kita ingin mengkritisi penelitian sebelumnya. Gunakan kalimat yang santun, misalnya akan lebih baik mengatakan ‘penelitian sebelumnya berfokus pada X, dan meninggalkan ruang Y untuk dielaborasi oleh penelitian sebelumnya’ dibandingkan ‘penelitian sebelumnya sangat mekanistis dan hanya berfokus pada X’. Terkesan berbeda kan?

Beberapa literatur menganjurkan untuk menghindari jargon. Tulis saja ‘use’ dan tidak perlu ‘utilize’, pilih ‘much’ daripada ‘a considerable amount of’, atau lebih baik tuliskan ‘many’ daripada ‘a considerable number of’, dan seterusnya. Tetapi, ini bisa diperdebatkan. Ini terkait dengan gaya bahasa. Orang Eropa dalam menulis publikasi ilmiah lebih menyukai bentuk ‘puisi’ dan orang Amerika lebih menyukai bentuk ‘prosa’. Kutipan dari Lyytinen et al. (2007:321) ini bisa memberikan gambaran perbedaan gaya bahasa:

“Scholars with a strong leaning toward the humanities value poetry over prose, whereas elite journal articles value prose over poetry. For top journals, efficient expression is essential and boring text is preferred over eloquent prose. Yet, Europeans prefer to be poets. Their poetic writing style, when masterfully followed, provides texts, which are entertaining and full of surprises. They convey the richness of the author’s sense-making by evoking multiple layers of meaning.”

Isu lain terkait dengan bentuk kalimat, aktif atau pasif. Dalam tradisi bahasa Indonesia, yang terakhir lebih disukai (terutama dengan tidak menggunakan kata ganti orang). Contohnya, bukan “Kami melakukan penelitian ini …”, tetapi “Penelitian ini dilakukan …”. Nampaknya pola ini dipengaruhi oleh gaya Amerika yang lebih menyukai kalimat pasif dalam publikasi ilmiah. Berbeda dengan tradisi Inggris yang menyukai kalimat aktif, sehingga kita bisa dengan mudah menemukan kata ganti orang ‘I’, ‘we’, ‘my’, ‘our’ dan seterusnya. Perhatikan gaya bahasa yang disukai oleh editor outlet publikasi yang dituju. Apapun pilihannya, kata pembimbing saya, konsisten! Ini lebih penting.

Terakhir, jika Anda akan mengirimkan manuskrip ke outlet internasional (terutama yang bereputasi bagus), mintalah bantuan professional language editor, jika Anda tidak merasa yakin dengan kualitas bahasa Inggris Anda. Jangan sampai, ide bagus yang terekam dalam manuskrip tidak diperhatikan, dan manuskrip ditolak hanya karena kualitas bahasa Inggris yang rendah.

Referensi

Lyytinen, K., Baskerville, R. Iivari, J., dan Te’eni, D. (2007). Why the old world cannot publish? Overcoming challenges in publishing high-impact IS research. European Journal of Information Systems, 16, 317–326.

32 comments
  1. Tulisannya yang menarik pak, ohya pada paragraf ke-6, bapak memberikan saran agar membuta kerangka-kerangka tulisan yang nantinya dpt dikembangkan dgn sistematis, namu bagi pemula (seperti saya ni pak) tentu jg mengalami kesulitan untuk membuat kerangka-kerangka nya,nah sebenarnya saya harus cari bahan-bahan dulu agar bisa membuat kerangkanya ataukah membuat kerangka dahulu kemudian mencari bahannya.
    2). jika misalnya sudah membuat kerangka nya dahulu nich pak, apakah dalam pengembangan nantinya harus ngikuti urutan kerangka tersebut ataukah mengalir dan sesuai dengan ide yang di dapat tanpa memperhatikan urutan-2 kerangka tersebut. mohon penjelasannya terimah kasih .. 🙂

    • Fathul Wahid said:

      Mas Ali, yang namanya rencana pasti bisa berubah, tetapi itu bukan alasan untuk tidak mempunyai rencana. 🙂 Coba njenengan bayangkan, kalau membaca topik A, kira-kira informasi apa yang ingin didapatkan. Nah, itu bisa dijadikan rencana/kerangka awal. Untuk mencari ide, bisa juga dengan membaca beberapa literatur dulu, atau diskusi dengan kawan.

  2. setelah baca tulisan bapak ini, saya jadi teringat lagi dengan idenya pak budi rahardjo mengenai layanan konsultasi bahasa dan penulisan karya ilmiah yang didirikan di kampus-kampus. dibayar profesional dan standby setiap hari untuk mendukung iklim produktifitas penulisan karya ilmiah di Indonesia. 🙂

    • Fathul Wahid said:

      Hehehe. Cuma jangan sampai menjadi layanan ‘penulisan’ alias menerima pesanan, seperti yang banyak kita temui di lapangan saat ini. Kalau setiap kampus harus punya sendiri sangat mahal Mas. Layanan online sudah banyak sekarang, dengan biaya yang insya Allah masih terjangkau, apalagi kalau ditanggung institusi.

      • betul pak, kalo “layanan penulisan” seperti itu nampaknya ndak bakal dibuka di lingkungan kampus, walopun saya pernah baca selebaran yang menawarkan jasa pembuatan skripsi (halusnya: bimbingan penulisan skripsi) di salah satu PTN negeri di sini pak.

        mengenai layanan online, bolehkah saya tahu tahu dimana penyedia layanan tersebut. terima kasih.

        • Fathul Wahid said:

          Banyak kok Mas Hanafi. Njenengan bisa goggling pakai kata kunci: proof reading service. Salah satunya ini: http://www.proof-reading-service.com/

        • Terima Kasih pak Fathul. 😀

  3. Muhammad Hari Suharto said:

    Menarik sekali urainan di atas. Ingin sekedar saring “problematika” pak… Terkadang ide dan kerangka fikiran sudah bisa di bikin, namun pada saat ingin mengembangkannya ke kalimat-kalimat detail, kelemahan saya adalah belum bisa membuat kalimat “yang panjang dan menarik” (artinya baru bisa sekedarnya saja). Mungkin ini karena memang kurang latihan dan kebanyakan aktifitas saya memang sebelumnya lebih banyak ke dunia “programming”, kalo di minta nulis “kode” bisa “panjang dan lama” (mungkin karena sudah hobi), tapi kalo diminta membuat tulisan (semisal paper) “yang panjang” masih belum bisa dan sebanyak apapun ide yang ada paling hanya menjadi 3-4 halaman saja, itupun dengan tambahan gambar dan daftar pustaka ^_^.

    Mohon kiat-kiat nya bagaimana supaya bisa lebih detail lagi dalam menjelaskan pokok pokok ide / kerangka fikiran tadi…. nuwun… ^_^

    • Fathul Wahid said:

      Menurut saya, ini masalah latihan/praktik Mas. Kadang seringkali kita merasa mempunyai ide, tetapi sebetulnya belum matang. Sebagai contoh, ketika membuat latar belakang? Masalahnya apa? Latar belakang empiris dan/atau konseptualnya apa? Kalau kita masih mikir lama ketika ditanya, artinya belum matang.

      Nah, ide seperti ini perlu dimatangkan, diiluminasi. Caranya? Bisa dengan diskusi, membaca, atau mencoba ‘menggambarkannya’. Yang terakhir sering saya lakukan. Bisa membuat diagram (hubungan antar konsep), mindmap, membuat draft, atau sejenisnya. Kadang untuk sebuah artikel untuk konferensi, proses iluminasi bisa berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Tetapi proses menuliskannya bisa lebih cepat ketika ide sudah matang. Kata orang, dalam menulis, “write early, revise often”.

      Artikel yang saya kirim ke pembimbing biasanya sudah melalui beberapa revisi (bisa puluhan versi). Saya tidak mungkin mengirimkan draft ke pembimbing, yang saya sendiri tidak yakin atau sreg dengannya. 🙂 Ya, kalau kita gak mau repot membaca ulang dan melakukan revisi, mengapa pembimbing harus repot. 🙂

      • Pak Fathul, berarti ketika kita memiliki sebuah ide untuk membuat sebuah tulisan tetapi ide tersebut belum matang artinya sebaiknya jangan ditulis dulu ya pak.. dimatangkan dulu idenya..

        Nah yang jadi kendala saya dilapangan adalah dalam pematangan ide ini pak, kadang saya dituntut untuk segera mematangkan ide dalam waktu yang sangat singkat (menurut saya) padahal dengan ide yang belum matang mungkin tulisan yang dihasilkan tidaklah sempurna (atau bahkan ngawur.. hehehehe).

        kira-kira ada tips and trik untuk dapat segera mematangkan ide ga pak… terima kasih pak..

        • Fathul Wahid said:

          Kalau menurut saya, ditulis saja sebisanya mas. Kalau dalam proses menulis, ide akan berkembang. Cuma kadang memang menthok, kalau belum matang idenya.

          Kalau cara cepat mematangkan ide, yang saya alami selama ini hanya membaca lagi, diskusi, dan terus berpikir. Kalau ide belum ketemu, kadang bahkan sulit tidur, apalagi kalau deadline sudah dekat. Tidak apa-apa Mas. Banyak temannya.

          Satu lagi, tidak ada tulisan yang sempurna. Tulisan yang sempurna biasanya tidak pernah meninggalkan meja penulisnya, alias tidak pernah terbit 🙂

        • betul pak, setuju sekali. misalnya tesis saya, setelah saya endapkan selama 2 bulan lebih, mulai timbul ide-ide baru dan membuat arah penelitian jadi lebih “menarik”. 🙂

      • Muhammad Hari Suharto said:

        Yup, betul sekali pak.. intinya adalah banyak belajar dan praktik… ^_^

        dan mungkin akan lebih baik juga bila di share, seperti yang sedang angkatan MI IV lakukan di forum facebook, belajar menulis dan menuangkan “ide ilmiah” ^_^

  4. Ause Labella said:

    Asswrwb Pak Fathul, pembahasan yang menarik sekali pak..kalau menurut saya, banyaknya kita membaca artikel dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris juga menjadi pengaruh yang cukup besar terhadap kemampuan menulis dengan tata bahasa yang baik, Seperti contoh-contoh yang Bapak sampaikan diatas, semakin banyak membaca semakin diketahui tata bahasa yang lazim digunakan.

    • Fathul Wahid said:

      Wa’alaikumussalam Mbak Ause, Betul membaca adalah salah satu cara mempertajam kemampuan berbahasa kita. Terus terang, kalau pas membaca, dan menemukan kalimat yang bagus dalam mempresentasikan argumen, saya akan catat. 🙂 Gaya bahasa itu, bisa saya saya jadikan contoh nantinya.

  5. Slamet Sugiarto said:

    Artikelnya sangat menarik terutama bagi kami yang kurang menguasai tentang bagaimana format/aturan pembuatan suatu artikel / makalah. Dalam konteks sistematika penulisan, saya belum mengetahui standart sistematika penulisan yang baku, mohon pencerahanya bagaimana sistematika penulisan yang benar .

  6. sri ngudi wahyuni said:

    Tulisan-tulisan bapak sangat menginspiratif pak..tetapi saya bingung, saya sebenarnya banyak ide untuk dapat dijadikan bahan publikasi ilmiah, tetapi saya bingung harus memulainya dari mana..
    saya ingin sekali menulis dan membuat sebuah publikasi ilmiah. mohon pencerahan bapak, langkah apa yang harus saya selain observasi dan mencari data yang sudah saya lakukan..terimakasih atas pencerahannya..:)

    • Terima kasih Mbak Sri sudah mampir. Yang pertama, temukan masalahnya. Kalau banyak, pilih salah satu. Kemudian, pastikan masalah ini belum pernah terpecahkan sebelumnya. Beri argumen mengapa masalah ini penting dan relevan untuk dipecahkan. Dari sini, kemudian cari cara menjawab rumusan masalah tersebut (teori yang bisa digunakan, strategi penelitian, data yang harus dikumpulan dan dianalisis).

  7. sri ngudi wahyuni said:

    maaf pak bertanya lagi, beberapa waktu lalu saya pernah membuat sebuah publikasi ilmiah untuk tugas kuliah. tetapi publikasi ilmiah tersebut belum berhasil diindex di kampus saya, yang ingin saya tanyakan bagaimanakah ciri-ciri sebuah tulisan yang baik, yang bisa dikatakan memenuhi persayaratan sebagai sebuah naskah publikasi ilmiah. apa proporsional nya dan bagaimana publikasi ilmiah tersebut bisa dikatakan layak untuk konsumsi umum dan bisa terindex..terimakasih sekali atas pencerahan bapak..:)

    • Mbak Sri, Coba jenengan baca semua entri dalam blog ini, nanti akan ketemu jawabannya. Indeks yang njenengan maksudkan nampaknya berbeda dengan yang saya tulis di entri di atas. Coba njenengan lihat entri tentang “memahami indeks publikasi internasional”. Terus menulis Mbak!

  8. indra gunawan said:

    Pak Fathul,
    Setelah membaca2 sedikit bberapa artikel, ada tidak ya artikel di web ini yg membahas tentang manfaat penulisan ilmiah di dunia real, Menurut saya jika ada akan sangat bagus kl di tempatkan di posisi paling depan.

    Latar belakang pertanyaan ini adalah hampir sebagian besar yang membaca web ini pasti sedang menempuh S2, dimana jika kita berada di fase ini(perpindahan dari S1 ke S2) pasti akan mengalami sdkit kekagetan dimana yg tadinya berkutat di dunia teknis dan real tiba2 harus banyak berkutat di dunia penulisan/tdk teknis yang mengakibatkan sedikit shock dengan berbagai pertanyaan didalam hati diantaranya
    “Ngapain sih cape nulis kl cuma di posting di jurnal doank ?”
    “Terus tulisan kita kl udah diindex bisa jadi uang kah, atau udah cuma gitu aja?
    “Gw gk ngerti buat tulisan tu buat apa, koq kayaknya gk guna banget buat lingkungan gw ”

    Dan saya yakin masih banyak pertanyaan2 aneh laennya bagi yg sedang berada di masa awal2 loncat dari S1 ke S2
    Dengan kata lain saya sedikit mengusulkan selain menjelaskan tentang teknik detail membuat kue yg enak, cara memasak, memilih bahan,dll akan lebih mantab lagi kl dijelaskan terlebih dahulu tentang

    Mengapa saya harus membuat kue ini?

    • Fathul Wahid said:

      Terima kasih Mas Indra. Pertanyaannya sangat menarik. Karena saya ditanya, saya ingin tanya balik sebelum diskusi lebih lanjut. Waktu Mas Indra bekerja, ilmu yang didapat sewaktu S1 bermanfaat tidak? Jika tidak, mengapa mengambil S2. Kalau bermanfaat, kira-kira ilmu itu didapat dari mana? Dari kelas, bahan bacaan/buku, manual teknis, atau yang lainnya? Kira-kira informasi/pengetahuan yang tertulis atau didiskusikan di kelas dari mana? Apakah muncul begitu saja sewaktu bangun tidur berasal dari mimpi atau proses penelitian sebelumnya? Kira-kira hasil penelitian itu bisa diakses di mana?

      Jawaban daftar pertanyaan di atas akan membantu diskusi lebih lanjut Mas. Kira-kira apa jawaban Mas Indra? Ini diskusi menarik Mas, dan untuk mendiskusikannya kita harus gunakan “mesin waktu” mundur ke belakang, untuk melihat hasil penelitian yang ditulis dalam publikasi, apapun bentuknya, bermanfaat.

    • Indra gunawan said:

      Kalau saya ditanya maka ini jawabannya :
      1. Apakah ilmu S1 bermanfaat? bermanfaat untuk kami
      2. Ilmu dari mana ? Dari buku, dari penelitian, dari jurnal dll

      Tapi sebenarnya maksud saya bukan ini pak, kalau manfaat penelitian dari masyarakat akademis jelas manfaatnya bisa dilihat secara langsung, tetapi yg saya maksudkan disini adalah manfaat penelitian terhadap masyarakat lingkungan kita.

      Jadi paling pas pertanyaan ini diajukan ke masyarakat sekitar kita, apakah mereka mendapatkan manfaat secara langsung dari penelitian2 tersebut, berapa porsentasi jumlah penelitian secara keseluruhan terhadap penelitian yg langsung bisa dirasakan hasilnya oleh masyarakat, saya yakin hasilnya akan sangat kecil sekali, dari sinilah pertanyaan saya timbul.

      Maka kami yang sekarang berada pada level teknis ingin menginjak ke level atas membutuhkan saran, tambahan informasi, dorongan tentang mengapa kami harus meneliti?

      • Fathul Wahid said:

        Nah, kalau gini semakin jelas Mas Indra. 🙂 Kata kuncinya di sini adalah “langsung”, dan tidak semua penelitian dapat memberikan manfaat “langsung”, karena beragam sebab.

        Ini akan terkait dengan pilihan topik Mas. Ada penelitian yang “problem-driven”, ada yang “theory-driven” (keduanya juga bisa digabung dengan pendekatan Action Design Research (ADR), misalnya). Yang njenengan inginkan nampaknya yang pertama. Kalau seperti itu, cari masalah riil yang perlu dipecahkan Mas. Mas Indra bisa gunakan pendekatan ADR atau action research, misalnya. Hanya saja pendekatan ini tidak bisa diterapkan untuk semua disiplin. Kawan-kawan di filsafat atau literatur/sastra misalnya, sulit untuk mengadopsinya. Tapi bagi saya, apa yang mereka lakukan tetap bermanfaat, meski tidak “langsung” seperti yang njenengan inginkan.

        Meski berasal dari masalah riil, tetapi supaya penelitian bisa diaplikasikan ke konteks yang lain, harus dibingkai dengan kerangka teoretis, dan kesimpulan harus bisa lebih “generik”. Dalam bahasanya Plato, masalah riil adalah “form” (bentuk) dan harus bisa dirumuskan “substance” (substansi) dari masalah tersebut, sehingga penelitian bisa lebih bermanfaat untuk konteks yang lain juga. Sebagai contoh, forum diskusi online (bentuk) yang diberikan oleh pemerintah pada substansinya adalah untuk mendapatkan masukan dari masyarakat dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat.

        Ada pendapat lain Mas Indra? Diskusi seperti ini selalu menarik.

    • Menurut Panjenengan, apakah perlu pak indonesia membuat kriteria2 sendiri terkait kategori penulisan yang baik, tentunya disesuaikan dengan kondisi indonesia saat ini. Mengingat kl kita tengok fiqih dapat berbeda di tiap tempat disesuaikan kondisi masing-masing, tentunya paling tidak demikian pula penelitian.

      Karena menurut saya kondisi tiap-tiap negara berbeda-beda tingkat pendidikan, sosial budaya, ekonomi dll, jadi mungkin baik disana belum tentu baik disini dan seterusnya, mungkinkah indonesia berdikari sendiri untuk merumuskan pensyaratan tulisan yang baik di dunia penelitian ilmiah?, misal pensyaratan adalah semakin dekat penelitian itu ke masyarakat peringkat penelitian semakin baik atau pensyaratan lainnya, tentunya bisa disesuaikan dengan bidang keilmuan.

      • Fathul Wahid said:

        Kalau menggunakan pendekatan fiqih, publikasi internasional bagi saya fardlu kifayah atau sunnah muakkadah 🙂

        Terkait dengan usulan njenengan, pertama, pilihannya sederhana: mau jadi ‘jago kandang’ atau ‘kandang jago’. Kedua, bagi saya, perbedaan konteks yang njenengan maksudkan justru merupakan ‘ni’mah’ dan bukan ‘niqmah’, dan itu merupakan peluang penelitian yang menarik dan bermanfaat.

        Perlu atau tidak membuat kriteria sendiri sangat tergantung kepada jawaban dua pilihan di atas. 🙂

  9. Saya setuju dengan anda, siapa saja yang akan membuat publikasi ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar agar hasil publikasi ilmiah yang sudah dipublikasikan dapat dimengerti oleh semua kalangan, terutama para mahasiswa yang biasanya memerlukan referensi untuk membuat tugas akhir. Bahasa publikasi ilmiah, bahasa apapun yang digunakan harus penerapan bahasa yang sebenar-benar nya bahasa yang telah dipelajari di sekolah.
    Ada 3 poin yang harus diperhatikan dalam penggunaan bahasa sebelum hasil penulisan dipublikasikan:
    1. Penulisan usulan penyusunan tesis dan tesis menggunakan bahasa Indonesia baku, sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
    2. Penyajian materi diuraikan dengan kalimat sempurna.
    3. Penggunaan kata atau istilah yang berasal dari bahasa asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia harus digunakan, jika belum ada maka kata tersebut dicetak miring. Isitilah
    bahasa indonesia dapat dilihat pada kamus besar online http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/

    • Fathul Wahid said:

      Terima kasih Mas Firdaus untuk kunjungan dan komentarnya. Komentar Mas Firdaus sangat bermanfaat untuk mereka yang akan melakukan publikasi nasional dengan bahasa Indonesia.

  10. Artikelnya sangat membantu saya yang masih sangat awam dalam publikasi ilmiah.

    Pak, apakah ada daftar kesalahan atau hal-hal yang harusnya di hindari dalam perangkaian bahsa untuk publikasi ilmiah?
    Menurut saya topik itu akan sangat menarik untuk di tambahkan Pak.

    Terimakasih Pak,
    Semoga sukses selalu.

    • Fathul Wahid said:

      Terima kasih sarannya Mas. Untuk itu perlu mengumpulkan kesalahan dulu, sebelum merangkumnya.

  11. Artikelnya sangat membantu bagi orang yang sedang belajar tentang publikasi ilmiah seperti saya ini. boleh tidak saya konsultasi langsung ke emailnya pak???

Tinggalkan Balasan ke sri ngudi wahyuni Batalkan balasan