Memahami indeks publikasi ilmiah

Seorang kolega yang sekarang menjadi assosiate professor di salah satu universitas terbaik Korea sempat kaget sewaktu wawancara untuk posisi tersebut. Apa pasal? Universitas tersebut tidak menganggap kolega saya mempunyai publikasi ilmiah. Padahal dalam CV yang dikirimkan ada lebih dari 30 publikasi.

Ternyata setelah dilacak, yang dimaksud adalah publikasi yang terindeks oleh Science Citation Index (SCI), yang saat ini dikelola oleh Thomson Reuters. Indeks inilah, dan termasuk Social Science Citation Index (SSCI), yang semuanya di bawah manajemen Thomson Reuters yang digunakan sebagai salah satu sumber pemeringkatan universitas oleh Times Higher Education (THE). Thomson nampaknya juga membuat beberapa indeks yang lebih spesifik yang didasarkan pada SCI. Semua indeks (khusus jurnal) ini diintegrasikan ke dalam Web of Science. Untuk universitas yang menganggap peringkat THE sangat prestisius, maka mempunyai dosen atau peneliti yang memiliki publikasi ayang terindeks di SCI adalah sebuah langkah awal.

Tentu selain itu, masih ada lembaga pengindeks lainnya, seperti Scopus besutan Elsevier (jurnal dan prosiding) – indeks ini yang digunakan dalam pemeringkatan Webometrics, HighWire yang dikelola oleh Stanford University, The ACM digital library (jurnal dan prosiding), dan The IEEE Xplore Digital Library (jurnal dan prosiding). Termasuk di dalamnya yang semakin berkembang adalah Google Scholar. Apapun lembaga pengindeksnya, mereka mempunyai misi yang sama: menjadikan publikasi ilmiah lebih tertata dan mudah ditemukan.

Keteraksesan publikasi dapat meningkatkan keterbacaan dan keterkutipan. Keterkutipan inilah yang menentukan impact factor yang sering dijadikan acuan kualitas jurnal. Jika impact factor sebuah jurnal adalah 1, sebagai contoh, artinya adalah bahwa rata-rata artikel dalam jurnal tersebut dikutip sebanyak 1 kali dalam dua tahun terakhir.

Impact factor dan indeks ini juga yang sering dijual oleh penyelenggara konferensi atau pengelola jurnal. Jadi kalau ada jurnal dengan imfact factor tinggi atau konferensi yang terindeks oleh lembaga bonafide, tidak salah kalau menerika memberikan ‘tarif’ mahal, atau dapat dipastikan seleksi yang lebih ketat. Semakin ketat proses seleksi dan review, maka semakin terasa ‘greng’ ketika manuskrip kita diterima. (Betul gak ya?)

Di Indonesia, hal ini nampaknya belum menjadi isu. Paling tidak, saya belum menemukan aturan mengikat yang beredar dan memuat impact factor atau SCI/SSCI sebagai acuan penilaian. Dalam aturan tentang angka kredit untuk jabatan akademik (baca: kewenangan akademik) dosen, misalnya, kedua hal ini tidak pernah disinggung. Jika Anda dosen dan jika ini adalah tujuan Anda, lupakan tentang SCI/SSCI dan impact factor. Anda tidak perlu bersusah payah. Tetapi, jika Anda mempunyai ‘ambisi’ atau ‘niatan’ lain, di luar ‘sekedar’ naik jabatan akademik, kini saatnya memikirkan. Mungkin Anda ingin membangun reputasi internasional di kalangan akademisi di disiplin yang Anda geluti, atau Anda menyukai tantangan, atau Anda ingin membuktikan kepada dunia bahwa Anda kapabel, atau Anda ingin mendapatkan masukan yang berkualitas dalam proses penerbitan. Anda bisa tambahkan alternatif motivasi lain.

Di negara tetangga, menurut cerita beberapa kolega, mereka termasuk sensitif dengan SCI/SSCI dan impact factor. Bahkan mereka nampaknya aktif memasukkan jurnal terbitan Malaysia ke dalam berbagai layanan pengindeksan. Karena inilah, saah satunya, lebih banyak universitas di Malaysia yang masuk ke dalam peringkat THE. Mereka tidak hanya bermodal semangat, tetapi juga membuat anak rangga riil untuk mencapainya. Salah satunya dengan mendorong publikasi ilmiah yang terindeks SCI/SSCI.

Di Indonesia? Tidak usah terlalu lama menghardik diri sendiri dan menggerutu. Mari kita mulai bersama-sama!

Kristiansand, 17 April 2012
Catatan:
1. Terima kasih untuk senior saya, Pak Zain, untuk komporannya. πŸ™‚
2. Kalau ada yang salah, mohon kolega yang bersentuhan langsung dengan sistem/budaya akademik Malaysia bisa menjelaskan di komentar di bawah ini. Juga untuk informasi lain yang dianggap ngawur karena berdasar informasi dan pemahaman saya yang terbatas ini.

19 comments
  1. irving said:

    benar pak. di cluster saya, bahkan utk level seminar/konferens saja, perlu selektif, tdk cuma prinsip ‘jalan-jalan’, namun impact factor n historinya kudu jelas n tinggi.

    yah ini lagi-lagi kembali ke bagaimana cara pandang ‘ring tinju’ kita, cukup seluas nusantara ato bola dunia. Atau mungkin ditanyakan ‘perlukah kita bertanding?’.

    btw, SNATI kpn kita indeks-kan ya pak? #jlebmoment

    • Fathul Wahid said:

      Syukurlah Mas, kalau cerita yang saya tuliskan benar.:-) Ini daftar pertanyaan yang menggelitik? Pertanyaan tambahan: apa partai tunggal, ganda, atau tim/grup? Yang SNATI, kita lempar ke yang jaga gawang saja ya Mas. πŸ™‚

  2. zain said:

    Pak Fathul, komentarnya sudah diwakili mantan mahasiswa saya. Mudah-mudahan pembenaran dalam komentar itu sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi di Malaysia. Tentu saja, sangat menjelaskan yang benar-benar terjadi di Indonesia.

    • Fathul Wahid said:

      Hehehe. No comments ya Pak. Sedih. :”-(

  3. goresanhidup said:

    Bbrp waktu yang lalu kbtulan dapet email dari milis posgrad UTP tetnang konferens yang di-black list, karena ternyata pengelolaannya tidak profesional, reviewnya tidak sesuai standar, dll. Padahal di website konferens2 itu, mereka juga menyatakan terindex.

    Pengalaman ini pernah dialami oleh salah satu kawan saya. Katanya mau diindex IEEE, tapi sampai sekarang (sudah hampir 3 tahun), belum diindex juga.

    Ini artinya bahwa meskipun panitia menyatakan bhw konferens-nya terindex, kita tetap harus hati2 kalau mau memasukkan paper kita ke sana.

    By the way, ini kok yang komen student2 Malaysia semua? Hehehehe….

    • Fathul Wahid said:

      Terima kasih telah berbagi cerita Mas. Sekarang memang banyak jurnal dan konferensi yang ditengarai ‘abal-abal’ Mas. Informasi seperti ini sangat bermanfaat untuk menjadikan kita lebih hati-hati.

  4. Di Indonesia? Tidak usah terlalu lama menghardik diri sendiri dan menggerutu. Mari kita mulai bersama-sama! <<<=== kalimat terkahir yang saya suka…

    Saya akan coba di institusi saya pak… Doakan saya ya pak… ^_^

    • Fathul Wahid said:

      Sukses Mas Agung! Saya doakan!

  5. SRI said:

    assalamu’alaikum pak Fathul ..

    seru sekali bahasannya..

    salam kenal ya

    • Fathul Wahid said:

      Wa’alaikumussalam Mbak Sri, Terima kasih. Salam kenal juga.

  6. Dinda Sasmito said:

    Salam kenal Pak Fathul.. πŸ™‚

    kalau studi di Malaysia kemudian menerbitkan publikasi internasional, apa nanti terhitung publikasi buatan Malaysia, padahal yang buat anak asli Indonesia (yang studi di Malaysia)?hehehe πŸ˜€

    Untuk prosiding yang sudah ada di SNATI dan SNIMED apa bisa lanjut diikutsertakan di publikasi internasional ya Pak?Langkah-langkah apa saja ang harus dipersiapkan?

    • Fathul Wahid said:

      Salam kenal juga Mbak Dinda. Kalau saya, selama ini menggunakan dua lembaga Mbak. Hanya saja tidak semuan universitas mengizinkannya. Yah, risikonya seperti yang njenengan tulis.

      Kalau dikembangkan lebih lanjut dengan tambahan kontribusi yang jelas, artikel SNATI dan SNIMED bisa publikasikan ke level yang tinggi Mbak. Kalau tidak, kadang artikel harus ‘mengetahui’ level yang cocok untuk untuknya. πŸ™‚

      • Dinda Sasmito said:

        Terimakasih tanggapannya, Pak πŸ™‚
        semoga orang hebat Indonesia yang sedang studi di luar cepat balik ke Indonesia biar Indonesia ikut maju πŸ˜€
        soalnya yang saya tahu jurnal Indonesia yang terindeks masih minim bahkan belum mencapai 1%. Kan sayang kalo orang hebat Indonesia diambil sama negara lain πŸ˜€

        Perhitungan keterkutipan pada sebuah jurnal yang kemudian dijadikan pengindeksan sebuah jurnal dilakukan dengan cara apa ya Pak?Saya pernah dengar Mendeley, apa bisa menggunakan Mendeley tersebut?Jika ada cara lain, mungkin Bapak berkenan untuk menjelaskan lebih lanjut, terimakasih πŸ™‚

  7. abit said:

    Bismillah, Pak Fatul, Semoga sehat selalu. Sangat menarik dan mengispirasi, bila bapak berkenan untuk meluangkan waktu, mohon penjelasan terkait Impact Factor dalam jurnal internasional. maaf saya masih awam mengenai hal ini. Terimakasih sebelumnya.

  8. Assalamu’alaikum pak Fathul Wahid, meski masih awam tentang publikasi ilmiah, saya tertantang untuk bisa publikasi jurnal sampe level internasional. apakah kualitas jurnal yang baik dan bertaraf internasional itu diukur dengan tingginya nilai impact factor saja ? bisakah terjadi di alam ini, antar penulis jurnal saling kerjasama menerbitkan artikel yang bersifat review agar sitasinya naik ?
    Terima kasih dan salam kenal pak πŸ™‚

  9. Ambo Sappe said:

    Assalamu alaikum pak fathul..terima kasih artikelnya sangat menambah wawasan saya dalam penelitian..
    mengingat saat ini untuk publikasi jurnal yang ada baik nasional maupun international terutama bagi peneliti pemula masih bingung dalam menentukan dimana publikasi yang baik untuk diterbitkan karena banyak juga tempat publikasi yang abal-abal hanya sekedar untuk meraup keuntungan, terutama untuk publikasi international apakah kita bisa memulai dari publikasi yang memiliki nilai minimal terindeks ato tidak terindeks tapi sesuai dengan standar internatinoal .
    kalau boleh usul pak ada entri khusus dalam pembahasan tersebut agar peneliti pemula semakin terbuka wawasannya dalam publikasi jurnal. terimas kasih

    • Fathul Wahid said:

      Wa’alaikumussalam Mas, Sebetulnya semua entri di blog ini ditujukan untuk itu, untuk membuka wawasan berdasar pengalaman saya yang masih sangat sedikit. Kalau saya, mulai dari yang bisa tetapi tetap jaga integritas. Membaca blog ini tidak menjadikan seseorang lihai dalam menulis, tanpa berlatih. πŸ™‚

Tinggalkan Balasan ke Fathul Wahid Batalkan balasan