Merumuskan masalah

A problem is half-solved if properly stated.” – John Dewey

It’s not that I’m so smart, it’s just that I stay with problems longer.” – Albert Einstein

Publikasi yang berkualitas nampaknya tidak mungkin dihasilkan tanpa penelitian yang berkualitas. Bagaimana menilai bahwa penelitian berkualitas? Salah satunya adalah dengan melihat orisinalitasnya. Orisinilitasnya bisa diukur dengan kontribusinya. Ya, kontribusi adalah salah satu indikator kualitas penelitian, tentunya disamping metode penelitian yang tepat.

Bagaimana mengukur kontribusi? Phillips dan Pugh (2002) memberikan beberapa cara:

  1. Penelitian mendiskusikan konsep teoritis yang belum pernah dilaporkan sebelumnya.
  2. Penelitian memberikan teknik, metode, atau observasi yang orisinal, seringkali merupakan penelitian besar yang tidak begitu orisinal.
  3. Penelitian melibatkan tindakan empiris yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
  4. Penelitian menguji sesuatu di sebuah negara (konteks) baru yang belum pernah dilakukan.
  5. Penelitian mengambil salah satu metode atau teknik dan mengaplikasikannya dengan cara atau di bidang yang baru.
  6. Penelitian lintas-disiplin yang menggabungkan beberapa hal (teori, metode, dan lainnya) yang belum pernah digabungkan sebelumnya.

Ketika seorang peneliti, termasuk mahasiswa dituntut untuk menunjukkan kebaruan dari penelitiannya, seringkali ada yang mengatakan, pastilah penelitian ini pernah dilakukan di tempat lain di dunia ini. Kalau sudah tahu sudah ada yang melakukan, jangan diulang dong. 😉 Ini seperti ‘reinventing the wheel‘.

Tetapi jangan dulu berputus asa. Mungkin yang sama hanya topiknya. Metode bisa jadi berbeda. Kalau sama, bisa jadi teori berbeda. Kalau masih sama, konteksnya bisa berbeda. Intinya, temukan perbedaan yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah ada.

Nah selanjutnya, ide penelitian bisa didapat dari mana? Dalam kajiannya, Sandberg dan Alvesson (2011), minimal ada dua cara, yaitu: menemukan kesenjangan (gap spotting) dan problematisasi (problematization). Kesenjangan dapat karena

  1. Terdapat beragam penjelasan untuk masalah yang serupa, sehingga perlu diperjelas;
  2. Bidang penelitian terabaikan seperti misalnya kurang diteliti atau membutuhkan dukungan data empiris
  3. Adanya kesenjangan dalam aplikasi yang memerlukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan atau melengkapi literatur yang sudah ada.

Gap spotting paling banyak digunakan dalam merumuskan masalah (membuat pertanyaan penelitian). Menurut penelitian Sandberg dan Alvesson (2011), terdapat beberapa alasan yang dapat menjelaskannya, yaitu karena (1) mudah, (2) tidak kontroversial dan aman, (3) memungkinkan akumulasi pengetahuan, (4) dunia akademik adalah ekonomi saling menghormati (saling meneruskan/melengkapi penelitian, mengutip artikel, dan sejenisnya), (5) institusi penelitian menyukainya, (6) jurnal menyukainya, (7) lebih mudah dipahami, dan (8) problematisasi – alternatif dari gap spotting- lebih sulit.

Karenanya, bagi Anda yang suka tantangan, cara lain merumuskan masalah yang jarang digunakan adalah problematisasi.  Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan: (1) melakukan konfrontasi kritis, (2) menawarkan ide baru, (3) problematisasi (biasanya melibatkan pemikiran ulang terhadap teori atau pemahaman yang sudah mapan).

Dalam artikel, masalah bisanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Masalah yang dirumuskan seharusnya diberi argumen yang berujung pada kesimpulan: memang perlu penelitian.

Sebagai contoh, saya mempunyai masalah yang menggelitik, “Mengapa ya, banyak pemerintah daerah yang mengimplementasikan eGovernment dengan biaya yang cukup besar, tetapi dampaknya berbeda-beda?” Ini adalah masalah yang menggelitik. Setelah melakukan kajian literatur ditemukan bahwa hal ini mungkin ada kaitannya dengan proses implementasi. Ini ada titik tolak penelitian. Rumusan masalah yang dibuat menjadi: bagaimana menjelaskan variasi dampak eGovernment dari proses implementasinya?

Menemukan masalah tidaklah mudah. Karenanya, tulisan Lucky (2001) dalam IEEE Spectrum sangat menarik disimak, karena menemukan masalah yang tepat adalah separuh solusi.

Rumusan masalah yang sudah spesifik ini akan membimbing penelitian, di mulai dari pertanyaan: bagaimana menjawab pernyataan ini? Akhirnya muncul pendekatan atau strategi penelitian, termasuk teori apa yang akan dilibatkan (untuk penelitian teknik, seringkali ini tidak sangat penting), metode pengumpulan data (termasuk siapa responden atau informannya), metode analisis data (termasuk tools yang digunakan kalau diperlukan), dan selanjutnya.

Referensi

Lucky, R. W. (2011). When the problem is the problem. IEEE Spectrum, Juli. Dapat diakses online di http://spectrum.ieee.org/at-work/innovation/when-the-problem-is-the-problem

Phillips, E. M., dan Pugh, D. S. (2000). How to get a PhD: a handbook for students and their supervisors. Open University.

Sandberg, J., dan Alvesson, M. (2011). Ways of constructing research questions: gap-spotting or problematization? Organization, 18(1), 23–44.

12 comments
  1. galang said:

    Pak apakah ada kemungkinan, kesimpulan yang didapat pada suatu penelitian dapat menjawab pertanyaan lain diluar rumusan masalah dalam penelitian tersebut?
    Lalu jika mungkin, apakah kesimpulan diluar rumusan masalah tersebut harus dimasukkan kedalam rumusan masalah, atau bahkan mungkin dapat gunakan sebagai bahan rumusan untuk penelitian selanjutnya (penelitian yang lain)?

    terima kasih pak fathul,,

    • Fathul Wahid said:

      Mas Galang, kalau menurut saya dilihat dulu. Kira-kira kesimpulan tambahan tersebut cukup besar tidak kontribusinya dalam penelitian. Jika tidak, nampaknya tidak perlu dituliskan dalam rumusan masalah. Kalau harus ditulis, motivasi atau latar belakang penelitian harus disesuaikan juga kan? Yang jelas, jangan menuliskan sesuatu dalam kesimpulan yang tidak pernah dibahas sebelumnya alias ‘ujug-ujug’ atau ‘mak bedunduk’ 🙂 Kesimpulan ‘sampingan’ ini biasanya juga bisa menjadi dasar penelitian lanjutannya. Ini menurut saya lho.

  2. Yudha said:

    Assalamualaikum pak
    Sperti bapak sebutkan memang kadang kita bingung dalam merumuskan masalah, dan takut kalau masalah tersebut pernah diangkat. Kira – kira ada tidak pak cara untuk melakukan pengecekan terhadap rumusan masalah yang kita buat agar tidak terjadi kesamaan?

    • Fathul Wahid said:

      Wa’alaikumussalam Mas Yudha, Supaya tidak mengulang yang sudah dilakukan orang, salah satunya lakukan literature review secara sistematis Mas. Kalau pun misalnya terkesan mirip, jangan khawatir dulu. Bisa jadi konteksnya beda, bisa jadi metodenya beda, bisa jadi teorinya beda, dan seterusnya. Sila lihat lagi diskusi tentang kontribusi di atas. Sukses ya untuk penelitiannya.

  3. galang said:

    Kok balasannya tidak diberitahukan lewat surat elektronik ya pak,, 🙂

    Benar juga pak, harus sesuai dengan latar belakangnya juga ya pak, terima kasih pak jawabannya.

    Mau tanya lagi pak Fathul, bagaimana caranya melihat kualitas penelitian? Soalnya pernah saya mendiskusikan suatu penelitian tesis dengan teman saya, tapi teman saya menjawab “itu kualitas penelitian level skripsi”. Nah dari segi apa bisa ditentukan level penelitian itu selevel skripsi atau selevel tesis? 🙂

    • Fathul Wahid said:

      Mas Galang, kalau mau balasannya dikirim per e-mail, opsi di bawah pas nulis komentar diklik dong. 🙂 Hehehe.

      Pertanyaan njenengan sulit dijawab. Kelihatannya yang dimaksud adalah bagaimana membedakan tingkat/level penelitian S1, S2, dan S3 ya? Kalau ini tergantung dengan pedoman yang dibuat oleh instansi masing-masing nampaknya.

      Kalau saya yang ditanya, jawabannya akan saya kaitkan dengan kebaruan atau kontribusi. Kalau S3 nampaknya harus signifikan, mempunyai kontribusi teoretis dan praktis. Kalau S2 boleh lah replikasi penelitian dengan konteks yang berbeda, tetapi harus lebih tertib dalam menggunakan metode dan teori. Kalau S1, boleh di bawahnya (tetapi kalau sama atau diatas kualitas S2 juga sangat dianjurkan lho). Agak abstrak memang. Mungkin njenengan punya pendapat lain?

  4. Dwiyono Ariyadi said:

    asalamualaikum wr. wb.
    Menurut pengamatan saya selama ini, rumusan masalah itu lebih dahulu timbul atau ada, sehingga berdampak adanya tindakan untuk kita melakukan penelitian dari masalah tersebut.

    • Wa’alaikumussalam Mas Dwiyono, Setuju 100% Mas. Karena penelitian pada dasarnya adalah menjawab ‘rumusan masalah’.

  5. Joko Sunardi said:

    Terima kasih pak atas sarannya, Topik ini cukup membantu membuka wawasan saya.

  6. Hariani said:

    Assalamu Alaikum… menarik skali threadnya pak… memang salah satu hal sulit dalam menulis terutama bagi pemula adlah merumuskan masalah, bahkan ada pengalaman beberapa teman saya pak sudah membaca beberapaa literature review, artikel, jurnal dan karya ilmiah lainnya namun masih belum dpat ide dalam perumusan masalah (untuk tesis pak 😀 )..

    oyya pak bisa nggak di buat thread contoh-contoh jurnal yang baik dan berkualitas biar menjadi acuan dalam menulis 🙂 khususnya bagi pemula seperti saya… hehehhe 🙂

    • Fathul Wahid said:

      Wa’alaikumussalam Mbak Hariani,

      Monggo dilirik tautan ini: http://www.scimagojr.com/journalrank.php

      Ada 20 ribuan jurnal bagus di sana. Lihat rankingnya kalau mau lihat yang lebih bagus lagi. 🙂

Tinggalkan Balasan ke galang Batalkan balasan