Menemukan momentum

“Better to light a candle than to curse the darkness.” – Pepatah Cina

Lebih baik menyalakan lilin daripada menghujat kegelapan. Blog ini merupakan embrio sebuah blogbook atau buku tentang bagaimana melakukan publikasi internasional. Eit, jangan berkomentar dulu. Jangan dikira yang menulis sudah sangat berpengalaman. Belum. Publikasi internasional saya masih bisa dihitung dengan jari. Justru dengan keinginan untuk belajar inilah, blog ini dimulai. Saya yakin (berpikir positif) banyak yang ingin melakukan tetapi karena berbagai alasan, baik yang sebenarnya atau yang dibuat-buat, akhirnya tidak jadi melakukan publikasi internasional.

Niat saya ini mendapatkan momentum ketika Ditjen Dikti Kemdikbud menerbitkan Surat Edaran Nomor 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah. Surat dapat diunduh di situs web ini. Isinya saya salinkan di bawah ini:

Nomor: 152/E/T/2012
Hal : Publikasi Karya Ilmiah

Kepada Yth.
Rektor/Ketua/Direktur PTN/PTS Seluruh Indonesia
di Tempat

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya.

Sehubungan dengan itu terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan sebagai berikut:

  1. Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah.
  2. Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi Dikti.
  3. Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal intemasional.

Demikian, atas perhatian Saudara kami ucapkan terima kasih.

Direktur Jenderal,
ttd.
Djoko Santoso

Saya yakin niat Pak Djoko, pak Dirjen Dikti, mantan Rektor ITB ini, sangat bagus. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan terkait dengan diterbitkannya surat tersebut.

Pertama, latar belakang surat edaran ini, meskipun faktual, tapi cukup ‘menggelikan’. Atau, jangan-jangan ini merupakan kesengajaan Pak Djoko menggunakan negara tetangga untuk ‘menyinggung perasaan’ komunitas akademik Indonesia. Efeknya mungkin berbeda jika dituliskan bahwa publikasi akademisi Indonesia kalah dengan Amerika. Beberapa orang mungkin langsung berteriak dalam hati, “Ya, iyalah!”. Terlepas dari ini, dari informasi yang saya terima dari banyak kolega dan pengecekan informasi lain, Malaysia memang tidak main-main untuk memperbesar noktahnya dalam peta akademik global. Mereka sangat sensitif misalnya dengan pengindeksan jurnal, impact factor, dan sejenisnya, dalam memilih outlet publikasi. Mereka pun serius ‘menginternasionalkan’ publikasi mereka.

Kedua, apakah itu solusi dari masalah yang disinggung di latar belakang? Kok nampaknya tidak. Lha, yang dijadikan acuan tulisan di jurnal internasional, kok solusinya mahasiswa S1 dan S2 harus publikasi di jurnal (bukan konferensi) nasional. Kalau latar belakangnya, mahasiswa S1 perlu berlatih menulis dan tidak harus dimuat dalam jurnal nasional, mungkin surat edaran lebih masuk akal. Daya dukung jurnal nasional juga menjadi isu tersendiri.

Ketiga, esensi dari publikasi nampaknya harus didefinisikan ulang. ‘Kejar setoran’ atau kontribusi pengembangan ilmu? Jangan sampai kewajiban baru ini, terutama untuk mahasiswa S1 justru menjadi bumerang. Lha kok bisa? Selain daya dukung jurnal nasional, praktik editorial dan reviewing untuk menjaga kualitas jurnal juga dipertaruhkan. Alih-alih meningkatkan kualitas jurnal, yang ada masah bisa jadi sebaliknya, ‘menurunkan derajat’ publikasi ilmiah. Argumen ini sama sekali tanpa niatan merendahkan bahwa tulisan untuk menilai mahasiswa S1 tidak bermutu, tetapi dalam tradisi publikasi jurnal yang benar, proses review atau penilaian sejawat menjadi komponen penting, dan memakan waktu yang seringkali tidak cepat.

Keempat, hasil penerawangan saya, nampaknya ada nuansa ‘putus asa’ dalam surat edaran ini. Yang seharusnya melakukan publikasi ilmiah berkualitas atas dosen dan peneliti Indonesia. Jika dosen atau peneliti tersebut dapat melibatkan mahasiswa tersebut akan sangat bagus. Jika yang menjadi kegelisahan bersama adalah minimnya publikasi internasional akademisi Indonesia, maka seharusnya yang ‘digenjot’ untuk lebih produktif adalah dosen dan peneliti. Bagaimana caranya? Banyak. Beberapa di antaranya saya tuliskan di tulisan pada tautan di atas.

Kelima, seorang kawan berkomentar, “Lha, publikasi dosen dibatasi maksimal satu dalam satu tahun untuk jurnal internasional. Kalau lebih dianggap tidak patut. Eh, kok malah ditambah surat edaran ini.” Tentu komentar ini jangan dijawab dengan emosi, “Memang situ bisa publikasi lebih dari satu apa?” Jawaban seperti ini tidak memecahkan masalah sama sekali. Moral yang saya dapat adalah ada baiknya semua kebijakan yang terkait bisa disinkronkan, sehingga keinginan bersama memperbesar noktah Indonesia dalam peta akademik global dapat terwujud dengan elegan.

Momentum inilah yang memberikan energi untuk memulai blog ini. Saya mengundang siapapun untuk berkontribusi, terutama yang sudah memiliki pengalaman publikasi internasional, baik dalam konferensi atau di jurnal. Semakin banyak yang bisa berkontribusi, semakin banyak warna yang bisa ditampilkan. Ini menjadi penting, karena setiap disiplin, biasanya mempunyai tradisinya masing-masing.

Mari nyalakan lilin dan berhenti menghujat kegelapan!

25 comments
  1. yuli said:

    Terima Kasih pak Fathul, saya banyak belajar tentang ke-dosen-an dari blog pak fathul :). Saya alumni TI UII pak, sekarang ngajar di UPN jogja, masih cukup bodo dengan dunia kewajiban dosen sebagai pendidik dan penyebar ilmu pengetahuan, plusss,.. birokrasi tentang profesi ini di Indonesia,.. terus menulis pak,.. 🙂

    • Terima kasih Mbak Yuli, mau membaca tulisan saya. 😉 Senang kalau ada manfaatnya. Sukses selalu Mbak!

  2. Muhammad Hari Suharto said:

    “Lebih baik menyalakan lilin daripada menghujat kegelapan” <–Setuju Pak… Mahasiswa Magister Informatika insya'allah akan mengadakan "Workshop" tentang "statistik" sebagai bekal untuk memperluas wawasan di bidang penelitian, harapannya nanti dapat menambah alternatif kasanah dalam penulisan tesis maupun paper.

    • Fathul Wahid said:

      Sip Mas Hari. Sukses untuk workshopnya!

  3. Setuju dengan tulisan bapak diatas. Bila mahasiswa S1 diwajibkan menulis makalah yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah malah akan menjadi bumerang, melakukan publikasi tidak bisa terburu-buru. Perlu bimbingan yang kuat dari dosen pembimbing mahasiswa tersebut, pembimbingnya-pun juga harus memiliki kompetensi dalam bidangnya dan memiliki pengalaman dalam publikasi, sehingga publikasi yang dihasilkan akan bermutu dan tidak menurunkan kualitas dari jurnal tersebut.

    • Fathul Wahid said:

      Terima kasih Mbak Hajarsejati, telah mampir dan untuk komentarnya.

    • test comen…..
      mungkin saya kurang teliti dalam membaca tulisan bapak.,.,.,.,.,.,

      “Bila mahasiswa S1 diwajibkan menulis makalah yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah malah akan menjadi bumerang, melakukan publikasi tidak bisa terburu-buru.”

      saya setuju dengan statemen ini

      tapi

      “Bila mahasiswa S1 diwajibkan menulis makalah yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah malah akan //menjadi bumerang//”

      saya kurang setuju
      karena tanpa ada sebuah paksaan seperti itu ( lebih condongnya target )/(batas minim) maka si mahasiswa tidaklah mungkin dapat berkembang …… si mahasiswa akan cenderung pasif

      implementasi dari tridarma perguruan tinggi …?
      ^_^

      “curhat”
      kebiasaan sih….. tanpa adanya sebuah target dalam hidup, hidup ini tiada berarti lah……………

      http://shear-dunkdunk.blogspot.com/2010/08/10-alasan-kenapa-anda-harus-punya.html

      “hhahahahahhah”

      hal ini bisa kita analogikan menempuh S1 dan jurnal ilmiah

      “maaf mungkin kurang connect”

      .: YAKUSA :.

      • Fathul Wahid said:

        Setuju Mbak. Ini dalil untuk pengelola perguruan tinggi, bukan dalilnya mahasiswa. Perguruan tinggi harus bijak melihat masalah, mahasiswa tidak boleh malas. Kalau njenengan mahasiswa S1, publikasi internasional pun tidak dilarang. Tetapi, kalau perguruan tinggi mewajibkan, ini menjadi masalah. Jadi, bukan tidak setuju mahasiswanya aktif. Ingat lho, mahasiswa S1 itu banyak dan beragam, dan aturan tidak mungkin dikenakan hanya kepada sebagiannya saja.

        Kalau tujuannya melatih menulis, kan sudah ada tugas akhir atau skripsi. Kalau mau lebih, boleh (tidak harus) publikasi jurnal. 🙂

  4. Pak Fathul, pertama dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan harapan kepada Pemerintah, supaya ada tindak lanjut yang konkrit semisal mengimplementasikan hasil penelitian putra bangsa di lapangan untuk menjalankan roda pemerintahan yang kemungkinan akan mengurangi resiko tidak cocoknya dengan Metodologi impor yang kurang suit dengan kondisi lapangan di Indonesia, untuk itu saya juga ingin menanyakan kepada Pak Fathul apakah kita sebagai rakyat dapat melihat apa saja penelitian yang sudah dihasilkan dan apa yang sudah diimplementasikan di lapangan oleh Pemerintah kita? terimakasih sebelumnya Pak Fathul.

  5. saya pernah membaca disalah satu blog yang saya lupa alamatnya pak, banyak sekali alasan untuk menolak/tidak menyetujui apa yang diminta oleh Ditjen Dikti Kemdikbud, yaitu jumlah mahasiswa s1 indonesia sangat besar dan tidak diimbangi dengan jumlah SDM yang mempunyai kualifikasi mereview jurnal (seingat saya review itu harus calon doktor minimal, bener gak pak?), hal ini malah menjadi masalah tersendiri. masalah dana dan kemampuan mahasiswa juga menjadi kendala, dimana bagi mahasiswa dalam menyusun skripsi aja susah (termasuk saya 😦 ) apalagi kalau harus menulis jurnal ilmiah yang tentunya gak bisa sembarangan. mohon dikoreksi pak kalau ada yang salah.

  6. SRI said:

    saya merasa sangat terbantu dengan tulisan bapa ini>> terimakasih pa fathul

  7. Rachmat said:

    Terima kasih atas pencerahannya.
    tulisan-tulisan bapak di blog ini sangat membantu saya.

    • Fathul Wahid said:

      Sama-sama Mas Rachmat. Senang kalau coretan saya ada manfaatnya. Sukses untuk risetnya ya.

  8. Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, ini yg ingin saya tanyakan serta mohon untuk di bimbing karena saya sendiri merasa sangat awam.
    terimakasih.

    • Fathul Wahid said:

      Mas Luckman, surat edaran Ditjen Dikti sebetulnya tidak mengikat, kecuali program tempat Anda sekolah mengharuskan. Blog ini sebetulnya saya tulis untuk ‘menjawab’ pertanyaan Mas Luckman. Coba dibuat pertanyaan yang lebih spesifik, sehingga lebih mudah didiskusikan.

  9. Rosidin said:

    Kebetulan saya juga perlu untuk bisa membuat karya ilmiah, sebagai salah satu syarat perpanjangan akreditasi di lingkungan tempat saya mengajar.
    Karena minimnya pengalaman dan belum pernah melakukan penelitian, saya masih bingung harus memulainya dari mana untuk bisa menulis Karya Ilmiyah yang baik 😀

    • Fathul Wahid said:

      Siapapun minim pengalaman, kalau tidak pernah mencoba Mas. 🙂 Sukses ya.

  10. Bahasa mudahnya mari mulai membaca dan menulis. Sepertinya dulu ada semacam program nasional pemberantasan buta huruf. Ini juga merupakan langkah awal membaca dan menulis.

    Beberapa kali saya melihat wisatawan yang datang ke Jogja membawa dan membaca sebuah buku kecil (bukan buku panduan wisata), saya lihat seperti novel. Budaya membaca dan menulis memang harus mulai dibudayakan sejak dini. Saya senang hadirnya blog ini, semoga bermanfaat. Terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang dibagikan.

    • Fathul Wahid said:

      Sama-sama Mas Dedy. Senang kalau ada yang menganggap blog saya bermanfaat, meskipun sedikit.

  11. Kristono said:

    Terimakasih pak atas ilmunya izin belajar di blog bapak,saya juga membutuhkan informasi dari bapak bagaimana membuat karya ilmiah yg dapat dipublikasikan secara internasional ?

    • Fathul Wahid said:

      Mas Kristono,

      Semua entri blog ini jawaban pertanyaan njenengan. 🙂

  12. Nanny said:

    Assalamu Alaikum wr. wb.
    Salam kenal Pak, artikel yang Bapak utarakan itu sangat memotivasi para Dosen PTN/PTS di seluruh Indonesia untuk membiasakan membuat karya ilmiah di mulai dengan melayangkan sedikit demi sedikit artikel yang sederhana. Artikel tersebut nantinya bisa dikembangkan menjadi suatu karya ilmiah, para Dosen nantinya akan mem-publikasikan secara lokal dan akan berusaha membuat karya ilmiah yang dipublikasikan secara internasional. Karya ilmiah dipublikasikan bukan hanya karena ada surat peringatan dari Dikti tapi karya ilmiah menjadikan para Dosen menjadi kaya akan ilmu pengetahuan yang lebih spesifik di bidang masing-masing Pak. Kutipan dari kata “Mari nyalakan lillin dan berhenti menghujat kegelapan”, menurut saya mari memulai menulis karya ilmiah apakah berupa artikel, jurnal dan tidak mengeluh bahwa menulis itu suatu yang rumit.
    Pertanyaan saya, apakah menulis sebuah artikel harus didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh Dikti bagi para Dosen Pak ? Dan ada beberapa karya ilmiah yang mengambil karya orang lain menjadi karyanya sendiri, itu gimana menurut Bapak ?
    Terima kasih atas jawabannya.

    • Fathul Wahid said:

      Wa’alaikumussalam Mbak Nanny, Terima kasih atas komentarnya. Kita menulis bukan karena Ditjen Dikti. Kalau memang ada aturan, dan dirasa baik dan masuk akal, kenapa tidak diikuti?

      Kalau mengklaim karya orang lain sebagai karyanya itu kejahatan akademik Mbak. Jangan sampai kita lakukan. Tetapi sebelum menyalahkan, kalau mungkin, ada baiknya ditanya dulu, apakah karena tidak tahu ataukah karena hal lain.

      Mudah-mudahan ada manfaatnya Mbak.

  13. Setiyowati said:

    Salam kenal Bapak, bagi saya yang masih awam sangat terbebani dengan adanya surat edaran dari dikti tersebut, karena menulis jurnal ilmiah tidak mudah, kita harus sering membaca untuk membuka wawasan kita, malah terkadang kita terjebak dalam plagiarisme.
    Bagaimana membuat judul penelitian yang baik ?
    Bagaimana menghindari plagiarisme? karena terkadang kita terjebak.
    Bagaimana membuat penelitian yang berkualitas?
    terimakasih.

Tinggalkan Balasan ke Fathul Wahid Batalkan balasan