Arsip

Monthly Archives: Maret 2012

Wawancara adalah salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian. Tulisan ini mendiskusikan wawancara kualitatif yang bisa kita bedakan dengan wawancara ‘kuantitatif’ dalam pengisian kuesioner dalam sebuah survei.

Tidak jarang saya temui kolega yang menganggap sepele proses wawancara dalam penelitian. Seakan-akan wawancara yang baik bisa dilakukan secara intuitif. Bisa jadi benar adanya, tetapi saya yakin tidak banyak orang yang bisa melakukannya. Saya nampaknya tidak termasuk di dalamnya. Read More

Saya bertanya kepada seorang kolega yang sedang menjadi reviewer untuk sebuah artikel konferensi. Bagaimana artikelnya? Dia jawab, “Saya baca dari awal sampai bagian temuan bagus. Ketika sampai bagian diskusi, penulis kayaknya tidak tahu apa yang harus dilakukan.”

Bisa jadi Anda juga menemukan hal sama, baik ketika diminta mereview artikel, atau bahkan membaca artikel terpublikasi yang mungkin proses reviewnya tidak ketat. Padahal di bagian diskusi inilah kita bisa menjelaskan temuan penting dan kontribusi penelitian. Read More

Beberapa pekan yang lalu, Association for Information Systems mengadakan webinar (seminar tetapi bisa diikuti secara online sinkron alias beda tempat satu waktu). Dua orang penting dalam bidang sistem informasi yang diakui oleh komunitas akademik dunia dengan berbagai penghargaan, berbagi pengalaman dalam publikasi. Mereka adalah Kalle Lyytinen dan Carol Saunders. Pencarian saya di Scholar Google dengan nama mereka menghasilkan 1.960 dan 646 entri. Beberapa artikel Lyytinen sudah dikutip lebih dari 500 kali sejak terbit. Salah satu artikel Saunders sudah dikutip lebih dari 700 kali.

Dalam sesi tersebut, mereka memberikan daftar kesalahan fatal dan besar dalam publikasi (Lyytinen dan Saunders, 2012). Rasanya kok sayang kalau informasi seperti ini tidak saya bagi. Seperti biasa, ilustrasi atau contoh saya tambahkan untuk memperkaya narasi. Read More

CATATAN: Kata kunci entri ini adalah ‘membosankan’. Untuk menghindari salah paham, lakukan SEBALIKNYA dari apa yang dianjurkan oleh 10 jurus ini untuk membuat artikel yang ‘TIDAK membosankan’. 

Entri ini adalah lanjutan dari entri sebelumnya yang dapat ditemukan di sini.

Jurus 6: Abaikan tahapan dalam penalaran
Hindari menuliskan tahapan, logika, dan argumen dalam artikel. Langsung saja melompat pada klaim dan kesimpulan. Jangan berikan bukti untuk setiap penalaran yang dituliskan. Kalau diperlukan, tambahkan logika yang tidak konsisten. Dengan melakukan jurus ini, artikel Anda dijamin akan membosankan.

Ilustrasi 6: Lyytinen dan Saunder (2011) menganggap kesalahan dalam penalaran sebagai ‘fatal flaw‘, kelemahan fatal dalam menulis artikel. Namun tidak jarang, kita temua artikel yang seperti ini lolos dan proses review yang mungkin tidak ketat. Penulis melakukan banyak klaim tanpa panalaran dan bukti yang memadai. Read More

CATATAN: Kata kunci entri ini adalah ‘membosankan’. Untuk menghindari salah paham, lakukan SEBALIKNYA dari apa yang dianjurkan oleh 10 jurus ini untuk membuat artikel yang ‘TIDAK membosankan’. 

Sepuluh jurus berikut bukan ide saya, karena saya belum mempunyai legitimasi dan kredibilitas untuk menulis artikel tentang ini. Jurus berikut saya ambil, atau lebih tepatnya sadur, dari Sand-Jensen (2007), sebuah artikel yang menurut saya sangat menarik, dan penuh dengan ironi. 🙂 Tentu dalam entri blog ini, saya berikan sedikit ‘kontribusi’ dengan memberikan ilustrasi segar (paling tidak menurut saya) atau catatan tambahan dan dengan mempertajam ironi yang disampaikan.

Saya percaya bahwa tidak semua orang sepakat dengan jurus ini. Bahkan, saya yakin banyak peneliti atau akademisi yang menggeleng-gelengkan kepala sambil mengernyitkan dahi tanda tidak setuju. Apakah Anda setuju? Tentu sulit menentukan pendapat karena 10 jurus tersebut belum dijelaskan. 🙂 Read More

Anda pernah membaca artikel, dan ketika membaca berkomentar atau mempertanyakan: yang benar, apa iya, kok meragukan ya, kok bisa, alasanya apa, buktinya apa, ah tenane, dan sejenisnya? Bisa jadi pembaca juga berkomentar atau mempertanyakan hal yang sama pada artikel kita.

Apa yang kurang dalam artikel tersebut? Salah satunya karena argumen yang dikembangkan tidak kuat untuk meyakinkan pembaca. Untuk itu kita bisa menggunakan retorika. Retorika adalah penggunaan bahasa secara efektif untuk meyakinkan/mempersuasi (persuade), menginformasikan (inform), mengedukasi (educate), atau menghibur (entertain) (Purdue Online Writing Lab, 2012). Read More

Pendahuluan adalah bagian artikel, setelah judul dan abstrak. Meski kedua bagian sebelumnya bisa ditulis setelah artikel selesai, seharusnya tidak demikian dengan pendahuluan. Pendahuluan benar-benar ditulis di awal, sebelum melanjutkan ke bagian selanjutnya. Meskipun memang tidak menutup kemungkinan untuk dipoles di waktu kemudian untuk memuluskan alur cerita artikel.

Pendahuluan seharusnya jangan terlalu panjang. Meski sulit memberikan pedoman yang pasti, namun biasanya 1-2 halaman halaman. Satu halaman untuk artikel yang pendek (sekitar 10-12 halaman) atau dua halaman untuk artikel yang lebih panjang. Untuk artikel konferensi gaya IEEE yang biasanya sangat ‘hemat’ dalam jumlah halaman (biasanya maksimal 6 halaman), pendahuluan satu halaman penuh tentu terlalu panjang. Kira-kira panjang bagian pendahuluan adalah 10% dari keseluruhan artikel (Grant dan Pollock, 2011). Read More

Seperti halnya judul, abstrak meskipun berada di bagian awal artikel, biasanya juga ‘ditulis lengkap’ ketika artikel sudah diselesaikan. Hal ini bukan berarti harus menunggu tulisan selesai baru menulis abstrak. ‘Memulai’ menulis abstrak di awal penulisan akan sangat bermanfaat, untuk meyakinkan diri kita bahwa kita mengetahui dengan pasti apa yang kita akan tuliskan dalam artikel (Walsham, 2006). Dalam praktik, abstrak sangat mungkin mengalami penyesuaian di ‘sana-sini’ setelah seluruh artikel diselesaikan. Read More

Mungkin bagi sebagian orang, ini istilah penelitian interpretif (interpretive research) adalah baru. Tetapi mungkin tidak untuk peneliti dari ilmu sosial dan humaniora. Ini adalah salah satu paradigma penelitian, selain positivis (positivist) dan kritikal (critical). Seperti biasa, karena saya ingin membuat tulisan yang selesai dibaca dalam ‘satu tarikan nafas’, saya akan fokus pada yang penelitian interpretif, itu pun hanya sebagian ‘kuuuecil’. Tulisan ini terkait dengan tulisan sebelumnya yang membahas peran teori dalam penelitian secara umum.

Saya ingin mengawali dengan sebuah cerita. Seorang kawan harus berjuang dengan penelitian S3-nya karena mempunyai lima pembimbing (supervisor). Sebentar. Tepatnya, sekarang dia mempunyai pembimbing yang kelima, dan empat mantan pembimbing. Saya secara pribadi harus mengacungkan jempol untuknya karena semangat dan ‘kebandelannya’. Jika saya adalah dia, saya mungkin sudah tidak bertahan. Let’s cross our fingers and toes for her! 🙂 Read More

There is nothing more practical than a good theory.” – Kurt Lewin (1945)

Belasan tahun lalu ketika masih di bangku S1, beberapa kali saya berdiskusi, atau tepatnya ‘berdebat kusir’, tentang mengapa kalau membaca tulisan ilmiah banyak kutipan di sana-sini. Beragam argumen saat itu muncul. Pencarian saya terhadap jawaban yang lebih baik pun akhirnya terjawab ketika pada sekitar tahun 1996 saya mengikuti pelatihan Taruna Melati Utama di Mua’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Salah satu pembicara pelatihan tersebut adalah Prof. Abdul Munir Mulkhan, seorang tokoh Muhammadiyah yang juga guru besar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Read More