Membuat ‘alur cerita’ artikel

We try to persuade others by ‘presenting a coherent point of view told with grace, wit, and felicity’” – Van Maanen (1989)

Kerangka artikel tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Tetapi setelah kita selesai membaca sebuah artikel kita bisa berkomentar, “Wow, artikel ini enak dibaca?” atau “Wah, artikelnya isinya bagus sih, cuma membosankan.” Apa yang membedakan? Salah satunya, menurut saya, adalah alur cerita atau ‘storyline’ yang disajikan.

Dengan cantik, Van Maanen (1989) menggambarkan proses penulisan artikel seperti kutipan pembuka tulisan. Dalam menulis kita mencoba mempersuasi orang lain dengan menghadirkan alur cerita yang koheren dan ditulis dengan ‘grace’, ‘wit’, dan ‘felicty’. Mari kita buka kamus. Dalam American Oxford Dictionary, ‘grace’ diartika sebagai ‘simple elegance or refinement of movement’, keanggunan yang sederhana atau kehalusan gerakan. ‘Wit’ diartikan sebagai ‘ mental sharpness and inventiveness; keen intelligence’, ketajaman ‘logika’ dan daya cipta; intelegensi yang tajam. ‘Felicity’ diartikan sebagai ‘intense happiness’, kebahagian yang intens.

Singkatnya, artikel seharusnya ditulis dengan keanggunan yang sederhana, mudah diikuti, dengan ketajaman logika, dan menghadirkan kebahagian ketika membacanya. Ada letupan-letupan intelektualitas yang tidak terduga dan menjadikan artikel semakin menarik diikuti.

Nah apa pula ini? Mungkin beberapa dari kita langsung berkomentar, itu kan untuk artikel populer. Padahal Van Maanen menyarankan itu dalam konteks artikel ilmiah. Mungkin untuk sebagian madzhab, saran Van Maanen ini sangat absurd. Apa pula ini? 😉

Saya termasuk penganut madzhab ini. Minimal, kita berusaha mencapai kualitas itu, dan yang menentukan bukan kita, tetapi pembaca.

Kembali ke alur cerita. Bagaimana alur cerita dibuat? Bayangkan Anda diminta mengarang cerita untuk pementasan 17an di kampung. Mungkin Anda akan langsung bisa bercerita, “Oh, nanti pentas diawali dengan ‘opening’ seperti ini, untuk memberikan kesan sakral, kemudian muncul si A yang naik ke atas panggung dengan melompat, yang disusul si B. Ya si B dulu, jangan si C, karena si C nanti akan ..” Anda bisa meneruskan alur cerita itu. Begitulan kira-kira alur cerita artikel ditulis. Alur cerita menjadi lebih penting lagi ketika artikel ditulis secara berjama’ah alias tidak sendiri. Dengan menyepakati alur cerita, semua yang terlibat akan mengetahui bagaimana artikel akan ditulis dan konten apa saja yang akan dimasukkan. Pembagian kerja pun bisa dengan mudah dilakukan.

Berikut contoh alur cerita untuk sebuah artikel yang dikemas dalam dialog:

Kita lihat ponsel telah digunakan oleh beragam kalangan, termasuk petani. Apakah penggunaan ponsel oleh petani memberikan dampak terhadap kegiatan pertaniannya?

Dampak? Apa yang kamu maksud dengan dampak?
Ya, membantu mereka mempermudah kegiatan pertaniannya.

Apa yang kamu maksud dengan kegiatan pertanian?
Ya semua kegiatan mulai sebelum tanam sampai dengan setelah panen, pemasaran. Harusnya, penggunaan ponsel di kalanan petani dapat dikatakan sebagai pembangunan.

Apa yang kamu maksud dengan pembangunan?
Kita bisa gunakan konsep capability approach-nya Amartya Sen, yang memandang pembangunan sebagai upaya untuk menciptakan kebebasan dalam memilih. Dalam konteks ini misalnya memilih menggunakan ponsel untuk mendukung kegiatan pertanian atau tidak.

Ada penjelasnya?
Ya, kita bisa gunakan konsep conversion factor dalam capability approach.

Oke, conversion factor. Apa saja itu?
Bisa bermacam-macam. Bisa personal, social, atau lingkungan. Kita bisa lihat pengaruh faktor ini pada penggunakan ponsel untuk mendukung kegiatan pertanian.  

Dan seterusnya …

Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Alur cerita ini nanti akan membimbing penulisan artikel. Bisa jadi alur cerita tidak jadi sekali jalan. Seringkali harus berkali-kali direvisi untuk menemukan alur yang lebih solid. Alur di atas, sangat mungkin dipoles lagi menjadi lebih menarik dan mudah diikuti. Misalnya, selipkan pertanyaan: “Mengapa harus menggunakan capability approach? Bukan yang lain?”. Dialog akan sedikit berubah, tetapi menjadi lebih solid.

Jika Anda menulis sendiri, mungkin alur cerita bisa Anda matangkan di pikiran tanpa dituliskan. Tetapi dengan menuliskan kadang akan lebih mudah untuk mengetahui kelemahan dan menghadirkan alur cerita yang lebih menarik dan solid.

Secara hiperbolik, pembimbing saya mengatakan, “Tulislah artikel seakan-akan nenekmu akan membaca artikelmu. Gunakan bahasa sederhana dan alur cerita yang mudah diikuti, serumit apapun materi yang akan kamu tulis.”

Setelah membaca banyak artikel, akhirnya memang saran ini sangat masuk akal. Kadang saya menyelesaikan membaca artikel tanpa terasa karena sangat menikmati. Kadang harus dengan mengernyitkan dahi untuk memahami. Saya yakin Anda pernah mengalami. Persin ketika kita menonton film besutan Hollyword, ada yang sederhana, tetapi solid dan menarik; ada yang ceritanya mbulet untuk dikuti, bahkan sampai tulisan ‘the end’ muncul di layar.

Referensi
Van Maanen, J. (1989). Some notes on the importance of writing in organization studies. Dalam J.I. Cash and P.R. Lawrence (eds.) The Information System Research Challenge: Qualitative Research Methods. Boston: Harvard Business School Press, 27-35.

11 comments
  1. Terimakash pak Fathul atas tulisannya, ini membuka wawasan saya bahwa ternyata gaya penulisan artikel seperti yang diatas bisa juga digunakan.

    Kira-kira bentuk tulisan seperti diatas bisa digunakan dalam penulisan seperti skripsi, tesis, atau disertasi tidak ya pak?

    • Fathul Wahid said:

      Mas, kalau yang njenengan maksud gaya penulisan saya, nampaknya bisa diterima Mas dengan beberapa penyesuaian. Misal, di Indonesia, lebih disukai kalimat pasif dan tidak ada kata ganti orang. Tetapi semua tergantung pada tradisi yang sudah berjalan di sana.

      Kalau soal alur cerita, ini yang saya gunakan dalam mengkonstruksi tulisan, termasuk menulis proposal.

  2. sigit purnomo said:

    Pak Fathul, gaya diatas cukup bagus, tetapi untuk penulisan ilmiah kiranya kurang pas karena terlalu banyak tanda tanya.

    • Pak Sigit, terima kasih komentarnya. Alur cerita itu bukan artikel Pak. Itu untuk memperjelas alur atau logika artikel. Tentu dalam artikel penulisannya disesuaikan dengan ragam ilmiah (baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya).

      Saya selalu usahakan buat, meski tidak selalu ditulis, tapi didialogkan dalam ‘pikiran’. Proses ini kadang memakan waktu berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan, sebelum saya menulis artikel. Setelah ide matang dan kontribusi jelas, saya baru tuangkan dalam artikel. Tetapi kadang juga, ide berubah (atau tepatnya, perlu diperkuat) sejalan dengan penulisan artikel.

      • Lukman said:

        permisi pak Fathul,
        betul, bahwasanya itulah kendala yang saya alami. Bagaimanakah trik jitu untuk mengatasinya agar karya kita tidak lama Molor.
        terkadang ide2 itu tak kunjung datang.
        terimakasih

        • Fathul Wahid said:

          Tidak ada cara mempercepat menulis, selain dengan mengintensifkan proses berpikir Mas. Ini yang tidak mudah kita kontrol. Kadang saya butuh beberapa hari, pekan, dan bahkan bulan untuk berpikir sebelum menulis.

          Beberapa cara mempercepat ide datang adalah dengan banyak membaca dan diskusi. Cari kawan diskusi yang tepat.

          Pengalaman juga tidak menjadikan menulis artikel menjadi lebih mudah (karena tantangan setiap arttikel berbeda), tetapi akan menjadikan artikel kita menjadi lebih baik.

  3. agus kristianto said:

    Salam sejahtera, maaf bpk Fathul wahid, saya sedikit penggal tulisannya, sbb; “….Singkatnya, artikel seharusnya ditulis dengan keanggunan yang sederhana, mudah diikuti, dengan ketajaman logika, dan menghadirkan kebahagian ketika membacanya. Ada letupan-letupan intelektualitas yang tidak terduga dan menjadikan artikel semakin menarik diikuti….”…laah ini yang jadi perkara waktu saya buat tulisan tentang Penerapan Teknologi Berbasis Tepat Guna, saya ditanya dan di” dikomentari sinis..”…oleh team Review dari provinsi jawa tengah (ini tulisan artikel…apa apa laporan kerja praktik maas,….?)..(saya goal mengajukan hibah provinsi pada waktu itu), alokasi karya saya perangkat karya nyata ( yang bisa digunakan berfungsi dengan baik dan murah untuk masyarakat), menurut saya (pribadi), saya sering kali membuktikan karya ilmiah atau penelitian ilmiah/ artikel ilmiah tersebut satu lini dengan kemampuan skill dan intelektual saya) nyata nyatanya banyak karya tulisan “PENELITIAN ILMIAH/ PENEMUAN ILMIAH” yang tidak “LAIK JALAN” setelah dibuktikan dan di ”DIHIDANGKAN” ke masyarakat pengguna, namun….”SANGAT LAYAK” sewaktu di baca dan di review…..laaahhh (lagi… :)..tolong entri tulisan yang membahas tentang PENGUJIAN ATAS KELAYAKAN ISI /MATERI TULISAN ARTIKEL ILMIAH
    terima kasih dan matur nuwun pak Fathul Wahid.

    • Fathul Wahid said:

      Salam sejahtera Pak Agus,

      Kalau komentar singkat saya sih, dengan beberapa asumsi: (1) rapikan atau runutkan struktur penulisan, (2) perjelas kontribusi. Struktur yang rapi dan runut akan memudahkan dalam menyampaikan pesan, dan kontribusi yang jelas akan meningkatkan ‘kadar ilmiah’ tulisan. Kalau saya punya ukuran pribadi untuk menilai tulisan: kalau setelah membaca artikel kok saya tidak belajar apa-apa (tidak ada yang baru), berarti artikel tersebut tidak mmepunyai kontribusi.

      Mudah-mudahan ada yang nyambung ya Pak.

  4. HERU WS said:

    Dalam penulisan alur cerita kita sering berbeda dalam penyamapaian maksud kalimat tersebut?
    mungkin bapak bisa menambahkan kiat khusus atau cara mudah dalam pembuatan alur cerita dalam sebuah penuliasan karya ilmiah.

    trimkasih pak

    • Fathul Wahid said:

      Mas Heru, Kalau kiat khusus saya tidak punya je. Yang bisa dilakukan dengan mencoba beragam alur dan mencari yang paling jelas, logis, dan sederhana. Dalam penulisan, nanti pasti disesuaikan dengan bahasa ragam ilmiah.

      Mudah-mudahan membantu.

  5. Kuat Ismanto said:

    Sajiannya: ‘grace’, ‘wit’, dan ‘felicty’

Tinggalkan Balasan ke agus kristianto Batalkan balasan